Dongeng Kelam Firdaus dan Keledai Berjubah

Dongeng Kelam Firdaus dan Keledai Berjubah

Dongeng Kelam Firdaus dan Keledai Berjubah
Oleh: Septara Utrujjah Dwy Putri


Mengubah sesuatu yang sudah lama ditanam dan dipercaya masyarakat tidaklah mudah, mendekonstruksi sebuah wacana lama yang sudah terkonstruksi dengan apik butuh upaya keras pula. Mekanisme-mekanisme sudah berjalan seolah tidak cukup dengan waktu sehari semalam untuk menewaskannya. Nawal El-Saadawi menjadi penulis asal Timur Tengah yang banyak mendobrak kebiasaan-kebiasaan wacana lama, serta cara membaca kejadian lama yang terpatri rapi oleh masyarakat patriarkis. Membahas dekonstruksi dan feminisme maka agaknya sebuah perspektif yang saling mengisi dan sejalan. Melalui Perempuan di Titik Nol, Nawal Saadawi, dokter sekaligus penulis kebanggaan Mesir ini, menyampaikan kejemuan serta protesnya terhadap pengekangan manusia yang dihadiahi kodrat sebagai ‘perempuan’.


Firdaus, sosok pidana mati yang enggan melanjutkan hidup dengan tawaran meminta maaf pada presiden atas perbuatannya. Tokoh utama yang dihadirkan penulis kelahiran 1931 ini sangat membekas dihati pembaca. Bagaimana bisa seorang perempuan ringkih bisa membunuh dengan sebilah pisau yang acap kali digunakan di dapur? Lemah lembut perawakannya ternyata memendam banyak kesakitan dan kesengsaraan yang sudah menjadi batu. Mengingat kembali pada halaman awal buku Perempuan di Titik Nol atau judul aslinya Emra’a Enda Noktat el Sifr, Firdaus kecil hidup dengan banyak opresi-opresi dan dimulai dari lingkungan yang tak pantas disebut ‘rumah’, digambarkan bagaimana Firdaus menjalani hari demi hari tanpa uang saku, bahkan tanpa makan.
Kejadian memilukan berlanjut hingga ia remaja, anggapan akan sosok paman sebagai pelindung ternyata sama saja, seorang paman yang ternyata dengan sekenanya menyampaikan ‘rasa kasih sayang’ yang berujung ke pelecehan dan tidak disadari oleh firdaus remaja. Sosok yang mengantarkan ia pula pada durjana nyata, suaminya. Pemerkosaan di dalam pernikahan nyata digambarkan, ketakutan dan rasa hampa ditransfer lewat frasa demi frasa yang digurat secara dramatis oleh Nawal El-saadawi.


Pada akhirnya Pilihan menjadi pekerja seks sebuah bentuk pilihan mutlak atas hak tubuhnya, tentu. Memilah-milih pelanggan juga bentuk rasa mahal atas jasa yang ia berikan pada sosok yang dianggap superior oleh masyarakat kebanyakan. Tidak sampai 200 jumlah halaman buku yang sering dijadikan buah bibir pojok diskusi mahasiswa ini, tetapi mampu menciptakan puluhan bahkan ratusan tulisan dengan berbagai perspektif dan analisis ciamik.


Dekonstruksi hadir sebagai klimaks-klimaks permasalahan atas bungkaman yang selalu jadi pilihan. menarik teori Dekonstruksi yang tidak ada definisi atau pemaknaan mutlak mengenainya. Derrida, pemikir asal perancis yang diajeg menjadi awal pemikiran dekonstruksi ini. Derrida menjelaskan itu sebagai sebuah strategi politik, filsafat, dan intelektual untuk membongkar modus membaca dan menginterpretasi dominasi-dominasi dan menguatkan fundamen hierarki. Maksudnya, dekonstruksi sebuah strategi mengupas satu persatu kulit-kulit pemaknaan yang terdapat di dalam teks, yang selama ini sudah mapan dan lazim. Sederhananya ada sebuah inovasi baru terhadap kebiasaan kuno yang tidak kalah apiknya. Film misalnya, di daratan Asia sampai dengan Eropa konsep film bergenre horor dihadirkan dengan pencitraan menyeramkan, dengan latar waktu malam dan gelap gulita. Kemudian dilihat dari film Casper atau perawakan tuyul di dalam tayangan Tuyul Mba yul menjadi sebuah dekonstruksi/pemaknaan ulang mengenai sosok hantu atau horor menjadi tayangan yang ramah terhadap kalangan tak kuat jumpscare.


Kembali pada Firdaus yang siap di wawancara. Lalu apa hubungan dekonstruksi dengan firdaus yang siap dan senang hati di hukum mati? Ya itulah bentuk dekonstruksinya. Siapa yang siap di dunia ini dihukum mati? Bahkan dengan entengnya menjawab tidak perlu untuk meminta maaf agar bisa melanjutkan hidup? Firdaus adalah wacana kemerdekaan versinya atas kegiatan yang pantas ia lakukan. Apakah pembaca menemukan sosok laki-laki yang pantas disebut manusia di sana? Atau hanya keledai berperawakan dua kaki dan tangan tak lupa jubah panjang yang senantiasa melekat di tubuhnya? Kalau tak makan ya ranjang urusannya. Adakah? Itulah bentuk perlawanan dan pemaknaan ulang yang dicabik-cabik oleh Firdaus.


Tidak ada kebenaran yang mutlak! pernyataan tersebut sebagai pembenaran tulisan ini terhadap dekonstruksi atas pemikiran dan tindakan Firdaus, memangnya siapa kita seolah berhak menghakimi rasa percaya Firdaus? Kebanyakan orang mungkin setelah membaca buku ini selintas berpikir “Tenang, firdaus hanya fiksi” betul novel adalah karya sastra fiksi, tapi tidak dengan pemikiran Nawal, menurutnya fiksi adalah jembatan menyampaikan kebenaran. Sebuah sastra tidak berangkat dari kekosongan zaman, di sini Perempuan di Titik Nol menjadi rekaman sejarah Mesir yang terjadi masa itu, antara tubuh dan pemikiran adalah sesuatu yang tidak dapat dipisah. Itu kenapa sebagai hasil buah dekonstruksi pula pilihan Firdaus menjadi seorang pekerja seks, laki-laki yang diberikan hak istimewa atas pikirannya, bagaimana penggambaran tokoh paman yang dengan bebas menimba ilmu di sekolah tinggi, sedangkan perempuan? Cukup membayangkan saja, kata Firdaus. Menjadi apa yang diinginkan adalah perjuangannya melawan tirani laki-laki, sebuah ketidak laziman yang dilakukan pada masa carut-marut patriarki.
Firdaus, pahlawan atas tirani dan hierarki, sudahkah kau di surga Firdaus sekarang?

No Comments

Post A Comment

Mulai Percakapan
Layanan Support
Selamat datang di website Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta!
Apa yang bisa kami bantu?