Si Penari itu Bernama Suci

Suci lahir dari keluarga broken home

Si Penari itu Bernama Suci

Hari-hari ini terasa amat panas. Pikiran menjelma menjadi garang. Polusi udara berhamburan kian kemari,ditambah beban kerja yang mendesak untuk secepatnya diselesaikan. Sementara  jarak untuk sampai di tempat kerja  amat jauh.

Mengenai omelan atasan, sudah menjadi hidangan pagi. Maklum, untuk melangkah ke sana harus ia rayu terdahulu kakinya. Kadang kakinya mengiyakan,namun kadang  harus dipijat dulu, lantaran  keseleo latihan kemarin.

Sedikit-dikit ia ayunkan tangannya  mengikuti alunan musik dengan gemulai menunjukkan senyuman manis dari raut wajah ayu.

Ketika tepukan tangan penonton mengakhiri tarian yang ia gerakkan adalah kelegaan tersendiri untuk dibawa pulang ke rumah. Dompet terisi maksudnya,bagaimana tidak? Semenjak ia beranjak kerja pagi tadi, sang tuan rumah pada sofa mahal  masih menghitung detik demi detik waktu  ia kembali.

Suci, salah seorang remaja  yang bekerja di sebuah sanggar tari demi mencari sesuap nasi untuk kebutuhan  bibi dan adik-adiknya.

Mereka ditinggalkan kala kedua orangtua mereka memutuskan untuk berpisah dan mengambil jalan masing-masing,sekarang ia tinggal bersama bibi.

Tiap siang hari selepas selesai sekolah, ia masak  untuk adik dan bibinya dan membersihkan rumah kemudian mempersiapkan diri untuk berangkat bekerja.

Sebuah rutinitas yang biasa bagi dia, tidak tahu untuk remaja lain. Walau tak dipungkiri di satu sisi terbesit perasaan iri dan membandingkan diri dengan teman-teman lain yang seumuran dengan dia.

Kadang terlintas pikiran untuk menyerah saja dengan hidup, kadang merasa Tuhan tidak adil, kadang pula merasa  payah dengan diri sendiri.

Suatu waktu  setelah menyelesaikan semua pekerjaan rumah dan beristirahat sejenak sembari menyiapkan kostum yang akan dikenakan dalam sebuah acara bergengsi di kampungnya, ia ketiduran dan  membuat ia terlambat  ke tempat acara tersebut.

Ia pun dimarahi oleh pemlilik sanggar tersebut,bahkan dipojokkan oleh teman-teman lain.

Karena kejadian demikian,ia tidak mendapat honor dari atasannya.

Sepulang bekerja ,bibinya meminta honor yang biasa ia peroleh,namun karena  tidak ada ia pun dimarahi dan dicap pemalas, hanya karena keteledoran dan Kelelahan yang ia rasakan siang tadi.

Bersambung…..

Penulis : Sisilia Merung (Sahabat Kinasih)

No Comments

Post A Comment

Mulai Percakapan
Layanan Support
Selamat datang di website Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta!
Apa yang bisa kami bantu?