27 Jun Santri Perempuan Melihat Haknya di Pesantren
Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan bagi para santri (pelajar) di Indonesia yang hingga saat ini masih eksis. Pesantren sebagai sebuah institusi pendidikan dimana nilai-nilai moral Islam diajarkan, dipahami, dan diamalkan oleh para santri. Serta dijadikan pedoman dalam berperilaku sehari-hari. Sebagai lembaga keislaman, pesantren memiliki peran penting dalam membentuk karakter masyarakat khususnya dalam hal hidup bersosial dan beragama.
Islam hadir di muka bumi ini tidak lain kecuali untuk membebaskan manusia dari pelbagai bentuk ketidakadilan. Dalam konteks hubungan laki-laki dan perempuan, keadilan meniscayakan tidak adanya diskriminasi, kecondongan ke arah jenis kelamin tertentu dan pengabaian terhadap jenis kelamin yang lain. Keadilan juga memberikan bobot yang sepadan antara hak dan kewajiban pada laki-laki dan perempuan. Keadilan tidak meletakkan perempuan pada pihak yang lebih rendah berada di bawah dominasi dan kekuasaan laki-laki. Pada saat yang sama keadilan juga tidak memberi ruang kepada laki-laki untuk berbuat seperti penguasa yang memiliki hak penuh atas perempuan. Inilah prinsip-prinsip keadilan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan yang merupakan nilai universal ajaran Islam. Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam di Indonesia seharusnya bertugas untuk mensosialisasikan nilai-nilai Islam yang universal tersebut.
Konsep-konsep kesetaraan antara laki-laki dan perempuan memang sudah seringkali disampaikan di dalam pesantren. Misalnya pandangan bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama-sama makhluk Tuhan yang sama kedudukannya dihadapan Tuhan, sama-sama berkewajiban melaksanakan ibadah kepada-Nya dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Demikian pula dengan perkara menuntut ilmu, laki-laki dan perempuan dalam hal menuntut ilmu sejalan dengan hadits nabi bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi muslim laki-laki dan perempuan.
Namun seringkali dalam memasuki persoalan praktis kesetaraan tersebut tidaklah muncul. Peraturan pesantren nampak ada beberapa yang diskriminatif terhadap perempuan. Misalnya akses perempuan untuk berkegiatan di luar pesantren lebih dibatasi daripada laki-laki. Jam kembali ke pesantren untuk akses santri perempuan dibatasi dengan durasi waktu pendek, dan untuk santri laki-laki dengan durasi waktu yang lebih panjang. Dan masih banyak peraturan-peraturan lain yang lebih memihak laki-laki daripada perempuan.
Selain hal itu, pola pengajaran dan kitab yang diajarkan utamanya fiqh di pesantren masih perlu ditinjau ulang. Munculnya beberapa diskriminasi peraturan pesantren, merupakan implementasi dari sebagian doktrin fiqh yang terdapat dalam kitab-kitab klasik. Secara umum dapat dikatakan bahwa pandangan kitab fiqh terhadap perempuan yaitu sama; kedudukan perempuan berada dibawah laki-laki. Melihat hal demikian, sesungguhnya masih ada permasalahan dalam kajian fiqh pesantren mengenai peran dan posisi gender dimana hak-hak perempuan harus dibedakan dengan posisi perempuan dimarjinalkan.
Permasalahan diantaranya mengenai posisi perempuan dalam konsep pernikahan yang terdapat dalam ajaran kitab klasik pesantren. Kajian-kajian fiqh pesantren seperti dalam kitab Syarh Uqud al Lujain secara garis besar, sangat terlihat bahwa wacana yang terdapat dalam kitab ini memiliki paradigma dan perspektif yang mendukung superioritas laki-laki atas perempuan baik dalam domain privat, maupun dalam domain publik (ruang sosial-politik). Beberapa teks kitab rujukan pesantren menunjukkan hal-hal sebagaimana misalnya dikatakan bahwa laki-laki lebih unggul daripada perempuan. Akal dan pengetahuan laki-laki lebih banyak, hati mereka lebih tabah dalam menanggung beban berat dan tubuh mereka lebih kuat.
Terbatasnya ruang gerak perempuan dalam paradigma fiqh tersebut, berasal dari implementasi ajaran yang menyatakan bahwa perempuan menjadi sumber fitnah yang kemudian ajaran tersebut menjadi dasar rujukan untuk membatasi peran-peran perempuan di ruang publik. Sehingga muncullah anggapan bahwa tugas dan peran perempuan adalah dalam ruang domestik atau rumah.
Kemudian adanya pernyataan bahwa wajib bagi istri untuk senantiasa memperlihatkan rasa malu terhadap suaminya, tidak banyak menentangnya, dia harus menundukkan matanya ketika berada di hadapannya, bersikap diam ketika suami sedang bicara, berdiri ketika dia datang atau keluar rumah, menyerahkan seluruh tubuhnya jika ia memintanya, senantiasa berhias dan memakai parfum ketika di dalam rumah. Begitulah sosok istri salehah yang diidealkan dalam kitab-kitab pesantren. Melihat hal demikian, meninjau ulang kitab tersebut sangatlah perlu dilakukan. Ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab tersebut apakah memiliki dasar legitimasi yang kuat dari sisi keilmuan Islam atau justru hanya merupakan perspektif dan pandangan penulisnya.
Namun sayangnya para santri belum mempunyai keberanian menyentuh tradisi yang seakan-akan anti kritik. Sebenarnya kegelisahan atas ajaran-ajaran tersebut dialami oleh para santri dan ingin mempertanyakan beberapa hal dalam teks-teks kitab tersebut. Tradisi patron terhadap figur kyai dan kitab yang diajarkan menyebabkan santri tidak memiliki keberanian mengkritik. Hal tersebut terjadi karena budaya pesantren yang telah memandang kitab kuning karya para ulama sebagai dalil-dalil teks suci, membuat isi kitab ini harus diterima oleh santri tanpa kritik dianggap sebagai kebenaran dan kebaikan yang datang dari agama.
Seperti sudah diuraikan di muka bahwa dalam tradisi pesantren sampai hari ini kritik terhadap kitab keagamaan klasik dan terhadap para ulama dianggap tindakan su’ul adab (tidak berakhlak). Bahkan dalam beberapa kasus mempertanyakannya saja acap kali dianggap kurang baik. Dengan begitu, maka kitab ini diterima oleh pada umumnya kyai dan para santri di pesantren dengan penuh penghormatan dan melimpahkan berkah. Budaya yang demikian sebenarnya akan membawa pada kejumudan proses intelektual dan keilmuan di pesantren. Sehingga dengan kondisi demikian keilmuan yang dikembangkan di pesantren akan sulit menyesuaikan dengan tantangan dan kebutuhan zaman.
Penulis : Nurul Qolbina (Sahabat Kinasih)
No Comments