30 Jun Rasanya Bermalam di Desa Wadas
Perayaan hari tani nasional tahun ini begitu spesial buat saya. Saya diajak teman-teman Solidaritas Perempuan Kinasih merayakan hari tani nasional di Desa Wadas. Butuh waktu sekitar dua jam ke Desa Wadas dari Kota Jogja. Sepanjang perjalanan ke Desa Wadas, kita disuguhi pemandangan yang asri dengan senyuman warga yang ramah. Tak jarang saya melihat ada tumpukan helaian bambu yang dijemur, jawabanya saya temukan di esok hari.
Ternyata selain bertani, membuat besek menjadi salah satu pencaharian warga Desa Wadas. Beberapa ibu-ibu sedang menganyam besek di pos penjagaan sambil melihat orang berlalu-lalang. Jika ada orang yang tidak di kenal lewat, mereka akan menaruh curiga dan saling berkabar ke anak muda. Para pemuda Desa berlalu-lalang dengan motor menjaga kampung dari aparat, atau warga yang diindikasi mematai Desa Wadas. Ketika melewati pos mereka akan menyapa ibu-ibu yang sedang menganyam besek.
Aktivitas Warga Wadas
Warga terlihat santai melakukan aktivitas harian, tapi tetap waspada. Mungkin kalimat ini lebih tetap menggambarkan Desa Wadas. Tujuan pertama kami yaitu di pos pertama, kami di suguhi berbagai makanan lokal Desa Wadas. Ibu-ibu yang sedang duduk menganyam besek di depan warung kemudian berdiri meninggalkan anyamannya, menyambut kami dan kami dan saling bersalaman.
Tidak apa-apa makan saja, yang penting berdoa untuk kami semoga Wadas menang
Kami dipersilahkan makan, dijamu dengan sangat baik. Disaat kami ajak makan bersama, ada warga yang nyeletuk . Saya pribadi merasa tak pantas sekaligus terharu dalam waktu bersamaan. Mereka punya harapan besar untuk menang, mereka ingin menyelamatkan kampungnya, dan mereka berharap kita mau membantu walaupun hanya lewat doa.
Keberagaman makanan lokal
Saya baru pernah merasakan tiwul, rasa tiwul mengingatkan saya dengan makanan di daerah saya di Kota Ambon, namanya Sinole. Bahan dasarnya saja yang berbeda, Sinole terbuat dari sagu dan tiwul terbuat dari singkong. Perjamuan dengan berbagai makanan lokal, setiap pos diwajibkan harus makan. Bayangkan saja dari jam dua belas siang sampai sembilan malam, kami disuguhi berbagai makanan yang harus dihabiskan, kalau makannya sedikit, maka harus dibungkus. Saya baru pernah makan tujuh kali dalam sehari, lebih tepatnya setengah hari.
Suasana Perayaan Hari Tani
Ketika saya dan teman-teman sampai di pos ketiga, ibu-ibu sudah menyambut dengan haru sambil bersalaman dan berpelukan. Kehangatan ini terusik dengan bunyi knalpot sepeda motor yang begitu cempreng di seberang jalan, dan juga suara teriakan anak-anak muda. Saya baru pertama kali ke desa Wadas sedikit was-was, dalam hati berfikir apakah ada bentrok? Beberapa warga berlarian melihat kejadian tersebut.
Dengan jarak seratus mer, terbentang berbagai pohon-pohon. Sebenarnya kami tidak dapat melihat apa-apa di seberang jalan. Kami mengetahui informasi dari warga yang ke tempat kejadian, bahwa ada aparat yang masuk desa dengan menggunakan senjata lengkap. Kata aparat, mereka hanya melewati Desa Wadas saja, tapi beberapa warga mengenal dan menghafal name tag di baju aparat tidak percaya dan video kejadian. Bagi warga, ini salah satu bentuk dari intimidasi dari pemerintah karena mereka tidak mengijinkan lahannya digunakan untuk tambang.
Kami berkeliling ke tujuh pos penjagaan dalam merayakan hari tani, sampai ke pos ketujuh sudah jam sembilan malam. Selama berkeliling saya berjumpa dengan ibu-ibu, mereka yang menaruh harapan kepada kami membantu menyelamatkan Desa Wadas. Ada anak kecil seumuran ponakan saya, sekitar enam tahun, mereka menunggu kami hingga larut malam untuk merayakan hari tani bersama.
Rasa haru merasuk dalam hati, saya jadi teringat dengan ponakan saya. Hidupnya enak sekali, malam ini mungkin ponakan saya lagi belajar dengan tenang, besoknya dia pergi ke sekolah diantar jemput oleh orang tua. Tapi tidak dengan anak-anak di depan saya ini, apakah mereka tidur nyenyak malam ini? Apakah mereka bisa fokus belajar di saat polisi lalu lalang di Desa Wadas? Saya rasa tidak, saya kemudian mengalihkan pandangan, jangan sampai saya menitikan air mata di depan mereka.
Anak-anak memang sudah mulai masuk sekolah offline, tetapi semakin intens aparat berdatangan. Ini berpengaruh pada mental mereka, rasanya tidak ada lagi cita-cita menjadi aparat negara di pikiran anak-anak ini. Karena apa yang kita lihat tentang sosok aparat sangat berbeda dengan anak-anak di Desa Wadas. Kehidupan sangat terbalik di sana, setiap hari selalu ada informasi keadaan Desa dan diskusi tentang kejadian kemungkinan yang akan datang di minggu besok.
Saya dan teman saya akan menginap semalam di Desa Wadas, di pagi hari saya duduk di pos satu bercerita dengan ibu-ibu dan mencoba membuat besek bersama ibu-ibu yang sedang menganyam besek. Untuk membuat selembar besek, saya membutuhkan waktu lebih dari tiga puluh menit. Sebelumnya, sudah diajarkan caranya oleh Si Mbah, tapi memang sayang nya saja susah sekali menghafal cara memilah helaian bambu dan memasukan helaian bambu yang baru.
Sambil membuat besek saya bertanya berapa harga besek ini kalau dijual? “Ini sepasang harganya seribu tujuh ratus rupiah mbak”. Dalam hati saya nyeletuk “proses buatnya selama ini, dijual seharga seribu tujuh ratus?”. Boleh tidak harganya dinaikan? Ini kan packaging ramah lingkungan, kuat juga, jadi harusnya proses ini dihargai lebih mahal. Setelah ibu-ibu menyelesaikan samping enam besek, saya baru menyelesaikan satu lembar besek, belum buat sampingnya dan tentu saja tutupnya.
Perjalanan ke Desa Wadas berakhir dengan empat warga yang mengantarkan saya dan teman pulang ke Kota Jogja menggunakan sepeda motor. Medan perjalanan yang berkelok serta menanjak, membuat saya berpikir tentang teman-teman yang hingga kini tetap berjuang untuk warga Wadas. Rasanya tidak mungkin ada yang kesana untuk main-main atau mencari sensasi, semua yang pergi ke Wadas memiliki satu tujuan yaitu melindungi lingkungan.
Saya ingin menyampaikan bahwa perayaan hari tani nasional di Desa Wadas, tidak akan sama dengan daerah lain. Ada ucapan selamat hari tani, ada acara makan-makan yang sama dengan daerah lain, tapi tidak dengan harapan. Doa di sana terasa lebih tulus, doa dari warga petani yang mengharapkan lingkungannya tetap menjadi miliknya. Berawal dari menyadari jika tambang terjadi maka pencaharian mereka juga terancam, berakhir menjadi pejuang pelindung lingkungan. Tetap semangat warga Wadas, kami bersama kalian.
No Comments