Saatnya Perempuan Beragama dengan Kritis

Saatnya Perempuan Beragama dengan Kritis

Peran perempuan dalam beragama masih inferior, kehadiran agama sebagai pegangan manusia dalam menjalani hidup seakan hanya berlaku kepada perempuan. Kita lebih banyak mendengar penceramah agama yang mengatakan bahwa perempuan sebagai sumber fitnah, jika keluar tanpa menggunakan jilbab maka ayahnya akan masuk neraka. Perempuan diposisikan sebagai sumber dari segala dosa, bahkan kehadiran perempuan pertama kali juga diartikan sebagai kesalahan.

Di kehidupan sehari-hari, peran perempuan dalam agama pun sering ditempatkan sebagai pengikut, apa saja keputusan yang dibuat oleh laki-laki. Para penceramah yang didominasi laki-laki memberikan ceramah yang dilatar belakangi pengalamannya sebagai laki-laki, tanpa memikirkan kebutuhan perempuan. Dengan pengetahuan yang sempit dan penafsiran agama yang misoginis, dan kepentingan pribadi tentu saja perempuan tidak diberikan kesempatan untuk mengambil suara.

Tindakan beragama tanpa memikirkan pengalaman perempuan sebagai pengetahuan dan pertimbangan dalam membuat keputusan atau bahan ceramah, pada akhirnya menjadi boomerang untuk perempuan, anak-anak dan juga negara. Saatnya untuk perempuan beragama dengan kritis, berikut hal-hal yang terjadi dan mungkin sering kita lihat bermula dari tidak dilibatkannya perempuan dalam beragama:

Pertama, Beredarnya hadis-hadis yang misoginis. Masyarakat awam disajikan hadis-hadis dan ayat yang membatasi ruang gerak perempuan dalam berpolitik atau pun beraktifitas. Perempuan diutamakan untuk berdiam diri di rumah saja agar terhindar dari fitnah, ayat ini disampaikan oleh penceramah yang secara finansial istrinya boleh saja duduk di rumah, makanan sudah disajikan oleh pembantu dan anak-anak punya dirawat oleh pengasuh. Realitasnya hadis ini tidak bisa diterapkan pada ibu tunggal atau anak perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga, dia harus keluar rumah untuk mencari nafkah memenuhi kebutuhan keluarga, itu mungkin lebih mulia. 

Kedua, Pelibatan perempuan dalam radikalisme. Beberapa tahun terakhir kita melihat bagaimana keterlibatan perempuan dalam radikalisme mulai meningkat, dari ibu dan anak sampai anak muda perempuan. Kepercayaan bahwa suami adalah imam sehingga apa yang diminta harus dituruti disalah artikan dengan suami yang mengajak anak istri ikut bom bunuh diri. Di sisi lain anak muda perempuan dibuat percaya bahwa dengan melakukan bom bunuh diri atas perintah agama maka dia menyelamatkan keluarganya dan dijamin masuk surga, nyatanya adalah perempuan dikorbankan, dan dimanfaatkan untuk memanipulasi kecurigaan orang lain jika yang melakukan aksi bom bunuh diri adalah perempuan.

Ketiga, Stigma keluarga teroris dibebankan ke  ibu tunggal dan anak-anak. Meskipun perempuan tiidak dilibatkan pada tindakan radikal, perempuan tetap harus menanggung beban sebagi ibu tunggal yang mencari nafkah untuk anak-anaknya dan menerima berbagai stigma masyarakat atas perbuatan suaminya saat melakukan pengeboman atau saat suami di penjara.

Dalam Mukadimah Solidaritas Perempuan mengatakan bahwa suburnya fundamentalisme di berbagai tempat juga telah memperpanjang deretan masalah yang dihadapi perempuan. Fundamentalisme yang mengandalkan sikap radikal dan interpretasi agama yang sempit dan sepihak masih digunakan sebagai alat untuk mendominasi dan membatasi ruang gerak atau ekspresi politik perempuan. Atas nama tafsir agama, perempuan dipinggirkan bahkan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan otentitas nilai-nilai agama (ADRT Solidaritas Perempuan ; 2).

Pada tataran tertentu fundamentalisme yang muncul sebagai reaksi atas ketidakberdayaan dalam menghadapi perubahan imperialistik, telah memunculkan radikalisasi perlawanan dan berbagai bentuk kekerasaan. Kondisi ini pada gilirannya telah memberikan peluang bagi kekuasaan ekonomi global untuk menyokong militerisme yang pada akhirnya memunculkan globalisasi terorisme dan terorisme negara. 

Tiga di atas mungkin hanya kasus yang diliput oleh media dan kita tahu, ada lebih banyak lagi dampak yang harus dialami perempuan ketika menjalani agama tanpa adanya pemikiran yang kritis terkait hadis dan ayat yang disampaikan penceramah, saatnya untuk menjadi lebih cerdas dalam memilih pemuka agama yang dijadikan panutan, jika penyampaiannya membuatmu sebagai perempuan merasa tertekan, membuatmu melihat Tuhan pemberi hukuman dan bukanlah penyayang, tinggalkan saja dan carilah pemuka agama yang lebih ramah gender, memahami kondisi dan kebutuhan perempuan sebagai pengetahuan dan pertimbangan dalam ceramah yang disampaikan.

No Comments

Post A Comment

Mulai Percakapan
Layanan Support
Selamat datang di website Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta!
Apa yang bisa kami bantu?