27 Sep Kekerasan Seksual oleh Menantu Kiai di Yogyakarta
Manipulasi Agama Nikah Tanpa Wali, Korban Terancam Masa Depannya (1)
Ima mulai bangkit. Ia ingin pulih dan menghirup udara dengan kebahagiaan yang baru. Ia kembali memulai hidup. Ia berusaha mengisi waktu dengan banyak membaca buku dan kegiatan positif lainnya.
Semua bermula ketika Ima merantau untuk kuliah di salah satu kampus Islam di Semarang. Di kampus itulah ia bertemu dan berkenalan dengan Alif, terduga pelaku.
“7 tahun saya mengalami kekerasan seksual oleh seorang Gus sebutan untuk anak Kiai dengan dalih agamanya saya dimanipulasi menjadi istrinya. Saya seorang mahasiswa semester 1 dan dia semester 3 kala itu. Umur kita terpaut 3 tahun. Dia seorang aktivis kampus dan lulusan pondok pesantren di Sarang. Dia angkatan 2013 dan saya angkatan 2014,” ujar Ima kepada saya.
Terduga pelaku telah menikah dan meninggalkan Ima begitu saja pada awal tahun 2022. Sejak awal, Ima telah diberikan janji akan dinikahi. Sampai-sampai ia sempat mengganti namanya dengan nama yang lebih Islami, demi restu dari keluarga Alif yang berasal dari keluarga Kiai.
Meskipun Ima lulusan dari madrasah, ia merasa kesulitan dalam membaca kitab kuning. Kebutuhan itu diperlukan karena konsentrasi jurusan kuliahnya mengharuskan kitab kuning sebagai sumber rujukan utama. Oleh sebab itu, ia meminta bimbingan dari orang lain.
“Pengetahuanku tentang membaca kitab Kuning kala itu rendah, jadi aku meminta bantuan belajar bahasa Arab kepada kakak kelas perempuan. Tapi dia merekomendasikan kepada pelaku yang menurutnya lebih paham dan pintar baca kitabnya. Dari sinilah kita mulai dekat dan bertemu setiap hari Senin siang di kampus untuk belajar bahasa Arab,” ungkap Ima.
Komunikasi itu terus berlanjut. Terdapat obrolan di antara Ima dan Alif melalui telepon yang ke depan dijadikan alasan pembenaran untuk melakukan kekerasan seksual kepada Ima.
Alif menjelaskan kepada Ima bahwa menurut Mazhab Hanafi perempuan dewasa sah menikahkan dirinya sendiri dengan orang lain yang diqiyaskan dengan akad jual beli. Konteks obrolan itu sebagaimana proses seorang lelaki yang sedang mendekati dan ingin mengambil hati perempuan yang diidamkannya.
Ima sangat ingat bahwa Alif juga menjelaskan mahar haruslah meringankan. Mahar yang bagus ialah sholawat seperti maharnya Siti Hawa.
Karena merasa dekat, Ima pun berceloteh dan menjawab dalam telepon, “Saya nikahkan diriku dengan dirimu dengan mahar sholawat.”
Alif menimpali, “Akad hukumnya sah meskipun dilakukan dengan bercanda!”
Ima yang tak lama baru lulus dari tingkat Sekolah Menengah Atas, baru mengetahui bahwa ada nikah yang sah tanpa wali. Bagi Ima, sosok Alif ini adalah sosok senior yang lebih pintar, tinggi ilmu agamanya dan seorang santri teladan yang baik.
Sulit Keluar dari Siklus Kekerasan
Mulai tahun 2015 itu Alif melakukan aksinya. Ima bercerita sambil melepaskan isak tangisnya ketika kami bertemu. Ia kembali masuk ke dalam bagian dirinya yang terluka. Niat baik Ima ingin mengikuti lomba membaca kitab Kuning yang yang diselenggarakan asrama kampus, berakhir dengan peristiwa di luar dugaannya.
Ima meminta Alif untuk mengajarinya belajar bahasa Arab di perpustakaan sebagaimana biasanya. Namun, Alif membawa Ima ke kontrakan Alif. Di sana Alif melancarkan aksinya mencium Ima pertama kalinya, lalu meminta maaf.
Dari kejadian itu, Ima membuat jarak dan sempat menutup komunikasi. Tapi tak lama, Alif kembali muncul. Bulan Agustus 2015, hal serupa terjadi lagi dengan menyakitkan dan Ima tak kuasa menolak. Alif menyetubuhi Ima di kontrakan.
Ima bimbang, ia kehilangan diri. Ima telah menginternalisasi bahwa hubungannya dengan terduga pelaku ialah sebagai sepasang suami istri yang sedang ditutupi dari khalayak publik sebelum terjadi pernikahan secara resmi.
“Aku bingung kala itu tentang diriku, aku galau tentang posisiku, dan selalu bertanya, kenapa dia melakukan itu kepadaku? Aku ini benar istrinya? Aku beranikan diri untuk bertanya kepada dia, meyakinkan diri jika akad nikah yang kita lakukan itu benar-benar sah. Jawabannya masih sangat aku ingat; sinau (belajar). Tapi kalau aku bukan istrinya, dia paham agama kenapa dia melakukan itu padaku? Perang batin antara menerima aku benar-benar istrinya atau aku sudah melakukan dosa besar.”
Ketika semester 3, Ima memberanikan diri menanyakan kepada teman kelasnya yang seorang anak Kiai dan alumni pondok pesantren salaf Lirboyo, Jawa Timur.
Ima mendapat keterangan bahwa pernikahan tersebut tidak sah karena di Indonesia mengikuti aturan hukum Mazhab Syafi’i. Meskipun memang Mazhab Hanafi memiliki pandangan demikian tidak bisa dijalankan di Indonesia.
Mendengar jawaban itu, Ima menangis sejadi-jadinya.
Tiba-tiba Alif mengetahui Ima telah mengadu kepada temannya tersebut. Alif marah besar. Lalu mengatakan bahwa itu aib dan Ima menangis semakin hancur perasaannya.
“Saya tidak lagi bertanya tentang akad pernikahan itu lagi, saya meyakinkan diri bahwa akad itu sah dan yang saya lakukan dengannya tidak berdosa.”
Kekerasan tidak berhenti pada kekerasan seksual. Ima telah menjalani hidup di bawah kendali Alif.
Ima mengalami hyperarousal (cemas berlebih). Perasaan itu membuat korban sulit memberikan makna peristiwa dalam hidupnya berupa penilaian rasional dan cenderung membentengi diri dari realita yang pahit. Emosi yang terjadi berlawanan antara sakit dan cinta, yang membuat selalu kembali pada pelaku kekerasan, begitu penjelasan Fika Nadia Tirta Maharani dalam buku “Yang Belum Usai”.
Berjalannya waktu, Ima seperti terikat batinnya dengan Alif. Ia begitu setia dan selalu ada untuk Alif. Meskipun Ima mengetahui bahwa Alif selingkuh dengan beberapa perempuan lebih dari satu.
“Lagi dan lagi si A ditinggalkan, kembalilah kepada saya. Mulai sering lagi ngajak saya nongkrong dan makan. Sering main ke kontrakan saya. Selama saya di kontrakan dia tidak pernah masuk kontrakan saya, kita ngobrol di bangku depan kontrakan. Di sinilah dia selalu minta untuk dipuaskan dengan tangan saya.”
Selain di kontrakan Alif, juga terjadi di kontrakan Ima. Kekerasan seksual itu berlangsung terus-menerus.
Lanjut penjelasan Fika Nadia Tirta dalam bukunya, bahwa memang ada posisi dimana seorang korban itu tidak punya kontrol pada peristiwa, yang menimbulkan tindakan menyerah pada keadaan yang menyebabkan terjebak pada siklus kekerasan yang terus menerus berulang.
Bersambung…
*Artikel ini adalah bagian dari seri reportase tentang kekerasan seksual yang telah mendapatkan persetujuan korban. Harapan dari artikel ini semoga menjadi pembelajaran bersama sekaligus sebagai ruang aman bagi korban. Nama yang tertulis dalam artikel ini merupakan nama samaran seluruhnya.
No Comments