Feminis Stage: POTENSI PEREMPUAN MERAWAT ALAM SEMESTA, MEWUJUDKAN PERDAMAIAN DAN KEADILAN DI MUKA BUMI

Feminis Stage: POTENSI PEREMPUAN MERAWAT ALAM SEMESTA, MEWUJUDKAN PERDAMAIAN DAN KEADILAN DI MUKA BUMI

Pidato Kebangsaan Agustina P Murniati 

Pendiri Solidaritas Perempuan Kinasih

by Nur Maulida

Tanggal 28 September 2022 SP Kinasih mengadakan feminis stage yang mengangkat tema besar pidato kebangsaan tokoh feminis Agustina P Murniati, atau yang sering disapa Ibu Nunuk, Ibu Nunuk merupakan pendiri komunitas solidaritas perempuan kinasih yang ada di Yogyakarta pada tahun 1999, Ibu Nunuk memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap eksistensi komunitas ini dalam hal penguatan kapasitas perempuan akar rumput (grass root), bermula dari semangat Ibu Nunuk mendirikan sebuah komunitas yang fokus pada pengorganisiran perempuan grassroot yang kehilangan akses terhadap sumber daya alam dan kerap mengalami kekerasan yang yang tidak hanya berwajah tunggal namun sering kali dilegitimasi oleh agama, budaya, kebijakan negara dan feodalisme yang selama ribuan tahun dikuasai oleh sistem patriarki 

Sejak Kecil Kerap Melihat Kekerasan Laki-laki terhadap Perempuan 

Hingga saat ini seorang Ibu Nunuk menjadi tokoh yang sangat disegani di kalangan akademisi dan aktivis pegiat perempuan, karena perjuangannya yang konsisten selama puluhan tahun membela hak-hak perempuan.  Di sesi  penayangan profilnya ibu Nunuk menceritakan pengalamannya pertama kali tergerak untuk berjuang di isu perempuan sedari kecil Ibu Nunuk kerap melihat kekerasan terhadap perempuan, ia pernah menyaksikan seorang Ibu yang dipukul oleh suaminya, pengalaman itu ternyata menggerakan hati Ibu mencari tahu mengapa perempuan kerap menjadi korban kekerasan dari laki-laki. Pengalaman itu juga yang membuat Ibu Nunuk memutuskan bergabung di berbagai organisasi perempuan di antaranya komnas perempuan, selama bekerja di komnas perempuan Ibu Nunuk semakin banyak menyaksikan kekerasan terhadap perempuan, bahkan bukan hanya kekerasan terhadap istri, Ia juga melihat dan mendampingi perempuan korban kekerasan seksual dan semakin meyakini bahwa kekerasan terhadap perempuan ini tidaklah berwajah tunggal, namun terus dilanggengkan oleh budaya, agama, negara dan feodalisme 

Ibu Nunuk juga menemukan banyak di antara orang-orang terdekatnya sendiri menjadi korban kekerasan. Pengalaman-pengalaman itu menjadi semangat dan antusias Ibu Nunuk untuk belajar dengan sungguh-sungguh bagaimana mendampingi perempuan yang mengalami kekerasan, dan kemudian menginspirasi Ibu Nunuk menjadi konselor yang memiliki perspektif feminis. Kemudian pada tahun 2019 Ibu Nunuk menyelesaikan buku yang ia tulis  konselor feminis dan buku itu hingga kini banyak menjadi referensi dalam menangani korban kekerasan seksual di wcc center dan lembaga-lembaga yang mendampingi korban kekerasan seksual serta KDRT

Perempuan Mendefinisikan Perempuan 

Dalam semangat perjuangan feminisnya, Ibu Nunuk mengajak kita semua menyadari potensi perempuan. Bagi ibu Nunuk Perempuan memiliki potensi dari sisi perannya sebagai pemelihara kehidupan dan lingkungannya serta kekuatan perempuan mewujudkan keadilan dan perdamaian, tetapi konstruksi sosial menciptakan perempuan tidak bisa bergerak dan menenggelamkan potensi perempuan. Selama ini perempuan cenderung didefinisikan oleh laki-laki, pengalaman ketubuhan, seksualitas, potensi  dan kebutuhannya kerap diwakilkan laki-laki baik dalam keluarga, masyarakat maupun ruang-ruang politik pengambilan keputusan.

JIka melacak kembali ke sejarah nenek moyangnya, perempuan menyimpan banyak pengalaman dan potensi bermuatan akal, kreativitas, imajinasi, inovasi, intuisi, energi dan kekuatan batin. Tetapi konstruksi sosial budaya membentuk perempuan menjadi diam tidak berani berpendapat, takut salah, dan malu bertanya. Tekanan konstruksi sosial budaya patriarki yang dikuatkan oleh ajaran budaya dan ajaran agama sudah terjadi berabad-abad, sehingga potensi perempuan semakin tidak disadari.

Diantaranya potensi-potensi yang lahir dari pengalaman perempuan yaitu perempuan bertanggung jawab besar terhadap pangan keluarga, dari rahimnya seorang manusia lahir, perempuan lekat dengan  merawat, mencintai karena sebelumnya sejarah menorehkan pengalaman perempuan hidup dari berelasi cukup baik dengan alam semesta. Ribuan tahun yang lalu perempuan memenuhi pangan keluarganya dengan bertani, bercocok tanam, sementara laki-laki berburu. Budaya pertanian yang diciptakan perempuan melahirkan relasi yang seimbang antara perempuan dan alam semesta, sementara tradisi berburu yang dilakukan laki-laki cenderung mengkonstruksi laki-laki harus bersikap berani, menaklukan dan maskulin. Yang mana potensi tersebut di masa depan menjadikan laki-laki sebagai manusia yang suka menaklukan, berperang merebut wilayah kekuasaan dan melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam.

Pandangan Perempuan tentang Alam Semesta 

Sejarah mencatat bahwa kaum perempuan melahirkan pertanian. Kemudian terjadilah transformasi mata pencaharian kaum perempuan dari meramu, mengumpulkan bahan pangan menjadi bercocok tanam. Pengalaman perempuan bercocok tanam, membuat mereka menjadi pintar dan mahir dalam hal merawat tanah agar tetap subur, memelihara sumber air bersih, membuat pupuk, memilih macam-macam biji yang berguna bagi kesehatan tubuh manusia, dan menentukan pangan yang sehat serta obat pencegah dan penyembuh penyakit. Pada zaman budaya matriakhat, kedaulatan pangan berada di tangan p

perempuan. Kaum perempuan melihat dan mengalami bahwa kehidupannya bersama anak-anaknya diberi makan dari hasil bumi. 

Oleh karena itu mereka memandang bumi atau tanah sebagai sang misteri yang memberi kehidupan. The Earth Goddess. Mereka menganggap relasi dengan alam, khususnya bumi adalah sakral, mereka selalu menandai dengan upacara religi. Upacara religi ini menjadi tradisi budaya pertanian di seluruh dunia. Pengalaman perempuan mengajarkan bahwa kehidupan manusia dengan Seluruh Isi Alam Semesta Mempunyai Relasi  Saling Tergantung, Karena Saling Membutuhkan. dari pengalaman itu menurut Ibu Nunuk Perempuan memandang alam beserta isinya adalah pemberi kehidupan bagi manusia Dengan pandangan hidup tersebut mereka memandang air, tanah, api dan angin, tidak sekedar material yang kasat mata. Air dipandang tidak sekedar H2O sarana pelepas dahaga, tetapi air adalah sumber kehidupan. Tanah dipandang tidak sekedar tempat untuk kaki berpijak, tetapi sebagai ibu yang menyusui, memelihara dan mengasuh  anaknya. Angin dipandang bukan sekedar udara yang bergerak, tetapi angin adalah nafas kehidupan. Api dipandang tidak sekedar sarana untuk membakar atau memasak, tetapi api adalah pemberi terang dan semangat.

Potensi Perempuan Merawat Perdamaian dan Keberagaman 

Ibu Nunuk pernah berjumpa dan berdialog langsung dengan tokoh pluralisme Gusdur dalam forum demokrasi dan mendiskusikan topik tentang pluralisme. Suatu ketika Gusdur menyinggung potensi perempuan merawat pluralisme atau keberagaman, Gus Dur berkata: “bicara tentang pluralism itu yang mahir adalah ibu-ibu”. Ibu Nunuk sempat bingung mendengar perkataan Gus Dur. namun Gusdur malah meledek: “nah kamu nggak sadar khan”. Kemudian Gus Dur melanjutkan pembicaraannya menceritakan bagaimana perempuan desa yang mempunyai banyak anak mempunyai cara menghadapi, memelihara, mengasuh, merawat  anak-anaknya yang mempunyai tabiat dan keinginan berbeda-beda, majemuk, plural. Perempuan desa ini menghadapi realitas kemajemukan anggota keluarganya. Keluarga petani cenderung merencanakan memiliki keluarga besar karena alasan untuk dijadikan tenaga kerja pertanian. Perempuan desa banyak belajar menghadapi kemajemukan mulai dari keluarga. Setelah mendapat penjelasan dari Gus Dur, Ibu Nunuk baru paham

Di konteks yang lain dalam pidatonya Ibu Nunuk juga memberikan contoh peran perempuan dalam merawat perdamaian dalam peristiwa 20 Mei 1998, tepat pada hari peringatan Hari Kebangkitan Nasional, suhu politik di Indonesia pada waktu itu sedang sangat panas. Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat menyelenggarakan “pisowanan agung”, tradisi kraton menyediakan tempat dan kesempatan  bertemunya  raja dengan rakyat membicarakan situasi hidup ketika terjadi keadaan genting. Manusia berduyun duyun, datang dari seluruh pelosok Daerah Istimewa Yogyakarta, semua berjalan kaki menyemut dari arah utara, barat, selatan dan timur, semua menuju alun-alun utara. Semua berjalan kaki atau “mlaku”, karena mlaku sangat  bermakna. Menurut falsafah Jawa, jika kita menghadapi masalah hidup yang berat harus diterima dan “dilakoni” (dijalani), bukan dihindari. Masyarakat Yogyakarta dipimpin rajanya sedang berjuang melawan pemerintah pusat, rezim Suharto dengan gerakan aktif tanpa kekerasan. Kaum perempuan berpartisipasi dalam perjuangan ini dengan caranya sendiri. Disepanjang jalan yang dilalui para pejalan kaki, terlihat kelompok-kelompok perempuan menyediakan air minum dan singkong rebus. Cara yang sama pernah dilakukan perempuan ketika mereka berjuang bersama para gerilyawan melawan Belanda, merebut kembali kota Yogyakarta dari Belanda, pada tahun 1949. Para perempuan itu dari luarnya nampaknya menyediakan makanan dan minuman, tetapi di dalam hati, mereka berdoa dalam senyap. Air dan singkong yang disediakan bukan hanya sekedar pelepas dahaga dan lapar, tetapi simbol keselamatan dan kelangsungan hidup. Bagi perempuan Jawa, secara lahiriah memberi makan dan minum, tetapi batinnya mendoakan keselamatan dan keberhasilan perjuangan bersama. Batin komunitas perempuan disepanjang jalan, menyatu dengan orang-orang yang berjalan kaki menuju Siti Hinggil. Realitas membuktikan dan sejarah mencatat, bahwa ketika masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta melakukan perlawanan  secara aktif tanpa kekerasan, terjadilah perubahan, Soeharto bersedia meletakkan jabatan. Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa budaya Jawa yang penuh dengan kebatinan menggerakkan ribuan manusia untuk bersatu, menyatukan batin sebagai kekuatan, ternyata mampu membuat perubahan kehidupan. Kesatuan batin ternyata energi alam semesta yang sangat dahsyat.

Aksi perempuan jawa dalam peristiwa tersebut menjadi falsafah kental jawa melawan tanpa kekerasan, dalam sebuah perlawanan perempuan ikut berperan membakar semangat perlawanan dengan menggunakan potensinya menyiapkan kebutuhan logistik makanan dan minuman, namun disisi lain para perempuan tersebut menghidupkan sumbu  energi positif dan semangat perjuangan melalui doa seorang ibu untuk ribuan pejuang keadilan 

Wajah Perempuan dalam Mitos dan Budaya Indonesia 

Dalam Pidatonya Ibu Nunuk memaparkan budaya adalah hasil akal budi manusia disalurkan melalui cipta, rasa dan karsa hingga melahirkan falsafah hidup, kemudian diwujudkan dalam pranata kehidupan sesuai dengan lingkungan hidup, alam dan sosial. Budaya juga menciptakan mitos. Mitos dikenal sebagai cerita atau dongeng diturunkan secara lisan. Mitos selalu berkaitan dengan kehidupan supranatural, para pahlawan dan para leluhur. Secara tradisional, manusia menggunakan mitos untuk menjelaskan situasi kehidupan, bagaimana hidup dimulai, bagaimana budaya lahir, dan mengapa makhluk hidup kemudian mati. 

Mitos sesuai dengan pandangan feminis menurut Ibu Nunuk, berpijak pada realitas hidup. Tetapi dalam masyarakat androsentris, mitos selalu dipertentangkan dengan realitas hidup. Dalam budaya patriarki, mitos dipengaruhi oleh pandangan maskulin saja. sehingga melahirkan mitos yang kerap kali bias gender, situasi tersebut mendorong para feminis menelusuri sejarah kuno manusia, ribuan abad sebelum masehi. Pustaka hasil penelitian dari budaya kuno di Timur Tengah menceritakan situasi pada zaman Neolitik dan Paleolitik. Peninggalan benda-benda kuno dari Hacilar dan Catal Huyuk di pusat Anatolia (sekarang Turki), Dalam penemuan tersebut tersingkap keyakinan dan mitos yang lekat dengan potensi perempuan, di antaranya berbagai arca Dewi-Dewi. Ciri Dewi adalah bersifat subur, ia melahirkan, memelihara dan menjaga kehidupan. Patung atau lukisan di gua menggambarkan makhluk yang memiliki rahim besar, mempunyai buah dada banyak. Kesuburan sebagai ciri kelahiran dalam alam semesta atau cosmic dan berlanjut dengan akhir kehidupan, Para Dewi digambarkan dipimpin oleh The Great Mother yang diyakini sebagai  penjaga dan pemelihara makhluk hidup. 

Selain itu di belahan dunia lainnya, terdapat mitos yang menggambarkan potensi perempuan. Perempuan digambarkan mempunyai potensi supranatural yang berkaitan dengan kehidupan dan kematian, penjagaan dan pemeliharaan alam semesta. Banyak literatur yang dapat kita pelajari untuk menggali potensi feminis kita, dari cerita mitos dewi-dewi.

Tetapi sayangnya, kita sebagai perempuan yang hidup dalam masyarakat androsentris, terkena polusi pandangan hidup pola berpikir dikotomi, mempertentangkan mitos dengan realitas hidup dan tidak percaya pada mitos. Akibatnya peranan dan kekuatan mitos diabaikan, khususnya mitos yang menggambarkan potensi perempuan. Seharusnya memandang mitos hendaknya secara utuh, holistic dan kritis, tidak sekedar dipandang salah-betul. Karena mitos diciptakan budaya dengan tujuan agar manusia tetap ingat bahwa dalam kehidupan terdapat misteri alam semesta dan kekuatan supranatural. Itu ringkasan singkat pidato Ibu Nunuk, Ibu bagi para pejuangan perempuan yang tidak pernah lelah hingga di usia nya yang sudah senja terus memberikan semangat dan menlurkan para aktivis dan akademisi yang membela keadilan untuk para perempuan korban kekerasan, Di antara para pegiat solidaritas perempuan yang konsisten melakukan penguatan kapasitas perempuan grassroot dan memperjuangkan hak, keadilan dan potensi perempuan serta posisi politik perempuan dalam ruang-ruang pengambilan keputusan baik di masyarakat maupun di tingkat pemerintah sehingga perempuan mampu berdaulat atas tubuh, potensi, keyakinan dan pengalamannya sebagai perempuan 

No Comments

Post A Comment

Mulai Percakapan
Layanan Support
Selamat datang di website Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta!
Apa yang bisa kami bantu?