16 Feb Perjuangan Para Biara Menafsirkan Al-Kitab yang Patriarki
Membaca buku Margareth Walters membawa kita kepada sejarah ringkas Feminisme dari sudut pandang sejarah dan perkembangannya. Tetapi sadarkan kita bahwa Gender dan Feminisme ditentang oleh agama justru lahir dari agama. Agama seringkali menjadi asal muasal sebuah persoalan sosial namun dikemudian hari pun menjadi penawarnya. Ketika kita melihat kilas balik sejarah maka perempuan telah mendapat diskriminasi dan stereotype, belum lagi kuatnya institusi agama serta budaya patriaki merumahkan perempuan pada era medieval.
Pada awalnya keberadaan perempuan seringkali disingkirkan dari keluarga dengan memasukan mereka ke ”Biara”. Biara itu tampak seperti penjara namun bagi yang lain merupakan tempat pemenuhan sejati dapat memungkinkan perempuan untuk membaca, berfikir dan mengembangkan bakat organisasi.Sehingga biara tidak ubahnya seperti tempat pelarian perempuan dimasa awal perjuangan feminisme.
Dikisahkan seorang biarawati yang lahir pada abad 11 bernama Hildegard of Bingen yang kemudian menjadi kepala biara Rhineland di Jerman. Bakat musik dan menulis membuatnya mendapat tempat yang luar biasa, walaupun ia merasa ragu dengan kegiatan yang ‘tidak feminin’. Namun ia mendapat dukungan dan melalukan tur Khotbah di seluruh kekaisaran Jerman pada usianya ke enam puluh tahun (walau hanya pendeta pria yang dapat berkotbah di gereja). Ia menyampaikan mengenai Sifat “keibuan” Tuhan, yaitu Tuhan yang begitu mengasihi manusia seperti ibu yang memberikan susu pada anaknya menangis. Begitu juga dengan biarawati yang lain yang merenungkan bahwa Tuhan memeluk dengan erat sehingga umat meringkuk diantara payudaranya seperti seorang bayi. Disampaikan juga oleh perempuan dari Inggris, Julian bahwa Tuhan pun lahir dari seorang perempuan dan sifat keilahiannya terlihat sebagai ibu. Juru selamat baginya ialah Ibu yan sejati yang dilahirkan kekal dan darinya manusia terlindungi, penebusannya merupakan sifat keibuan yang penuh belas asih. Yesus pun digambarkan juga sebagai ibu yang baik hati, pengasih, memahami dan mengakui kebutuan anaknya.
Pada akhir abad ke-16 munculah sebuah polemik yang dikarenakan perempuan mulai berdebat mengenai keberadaannya tentunya dalam konteks keagamaan. Hal ini tentunya dipicu karena reformasi gereja yang memungkinkan lebih banyak perempuan menerima pendidikan. Jane Anger pada Tahun 1589 menyatakan bahwa Hawa lebih unggul dibanding Adam karena adam diambil dari tanah yang kotor sedangkan Hawa dari daging Adam yang lebih murni. Disampaikan juga bahwa dari perempuanlah terdapat keselamatan para pria, perempuan pertama percaya dan perempuan pula yang pertama bertobat dari dosa. Namun walaupun demikian, citra perempuan menurut tulisan kitab suci tetaplah buruk seperti Hawa yang bertanggung jawab atas dosa manusia, Delilah yang berbahaya karena menggoda Samson dan Izebel yang sangat kejam. Belum lagi Santo Paulus menuliskan bahwa perempuan harus diam karena tidak mendapat hak untuk berbicara,belum lagi tulisannya kepada Timotius perempuan harus bertanya pada suami karena hal yang memalukan jika perempuan berbicara di gereja.
Sehingga terjadi perdebatan mengenai keberadaan teks suci pada masa itu. Para perempuan menawarkan intrepretasi yang berbeda ketika membaca kitab Genesis. Pada 1611, Amelia Lanyer mengingatkan bahwa Kristus dilahirkan oleh seorang perempuan, diasuh, dididik dan, ia menyembukan, mengampuni dan menghibur perempuan, bahkan pertama kali menampakan diri kepada perempuan saat kebangkitannya. Pendapat lainnya dari Rachel Speght bahwa apa yang dilakukan adam ialah salah dimana ia tidak menegur Hawa, bahkan menyetujui apa yang dilakukan oleh Hawa.
Pada Abad ke 17 banyak kelompok yang menolak gereja dimana perempuan mulai mendobrak tradisi dengan berkhotbah dan bernubuat. Sejarawan pun menceritakan bahwa ada peran penting perempuan diantara separatis agama yang melarikan diri dari penyiksaan di masa Elizabeth menuju Amerika atau Belanda. Dicatat juga kelompok Quaker menganggap bahwa ‘Cahaya Batin’ lebih penting disbanding ketaatan beribadah, mereka menyakini bahwa Cahaya Batin tidak mengenal perbedaan seksual. Walaupun tetap ada perlawanan dari Gereja yaitu John Bunyan yang menentang keaktifan perempuan dalam gereja. Ia menyatakan bahwa Adam ialah orang yang dijadikan pemimpin dalam ibadah dan penjagaan taman Tuhan sedangkan perempuan merupakan gender yang lemah. Ia juga mengutip dari surat Konrintus bahwa Gambaran Tuhan terdapat didalam laki-laki. Hal ini pun dibantah oleh Margaret Fell yang merupakan seorang kelompok Quaker, ia membuat risalah Women’s Speaking Justrified yan menyatakan bahwa Tuhan pun berbicara dalam diri seorang perempuan. Ia pun mengutip dari Nabi Joel bahwa ada anak perempuan yang akan berbicara dan melihat mengenai masa yang akan datang. Namun memang perempuan pada waktu itu di Inggris mendapat cap sebagai seorang penyihir sehingga diadili, membuat kebebasan perempuan dalam menyatakan pendapatnya menjadi terbatas. Namun beberapa aliran gereja seperti Anabaptis telah memberi ruang untuk perempuan berdoa dan berbicara pada pertemuan ibadah, mereka mengakui kesetaraan Pria dengan wanita. Komunitas ini kemudian membuat kelompok yang dinamain Laveller dan mereka meyakini bahwa kesetaraan dibuat dalam gambar Tuhan. Mereka pun menyatakan diri dihadap publik secara massal dengan memperjuangkan hak mereka. Tercatat dalam sejarah adanya pertemuan perempuan regular pada tahun 1650 yang mulai membicarakan feminisme secara tradisional, kesejahteraan serta kesempatan mengembangkan diri terutama dalam organisasi. Walaupun tidak secara signifikan perkembangnnya setidaknya sejarah telah mencatat bahwa adanya wadah perempuan untuk membahas hal yang bermanfaat bagi mereka.
Sejarah memanglah telah berlalu namun patut untuk dikenang dan dipelajari perkembangannya. Agama yang kaku dan hanya untuk segelintir orang di Eropa pada waktu itu membuat akses terhadap teks suci menjadi sulit serta ketika telah didapatkan interpretasi sangatlah terbatas dan memojokan keberadaan perempuan. Berkaca dari hal ini pada masa kini penting bagi kita melihat dan membaca kitab suci bukan secara literal atau teks demi teks yang dibaca. Melainkan melihat konteks sejarah dan budaya apa yang terjadi pada waktu teks suci dilihat. Sehingga kita dapat melihat didalam sebuah bingkai pembacaan yang fear dan komprehensif.
Penulis : Ferry Mahulette
No Comments