17 Mar Puan Dukung Puan
Saat Perempuan Korban Kekerasan Bangkit untuk Berdaya Bersama
Part 2
Pagi pada Kamis, 5 Januari 2023, terasa hangat. Matahari bersinar cukup terang. Di undak-undakan di depan pintu rumah Sugiarsi terdapat dua pasang sandal warna coklat kehitaman. Ketika saya mengucapkan salam, sudah ada dua ibu berpakaian batik corak coklat dengan warna dasar biru dongker dan juga Sugiarsi yang mengenakan pakaian sama. Suasana ruang depan berbeda ketika saya ke sana pada penghujung 2022.
Ruang tengah terasa lebih besar. Satu set kursi kayu busa warna merah tak lagi terkonsentrasi di sisi kiri pintu masuk, tapi ditempatkan mengikuti bentuk tembok. Sisi kanan pintu masuk dipenuhi tikar berbagai motif dan juga karpet warna merah dengan motif batik di tengah serta pinggir-pinggirnya. Hari itu adalah pertemuan pertama anggota P3S setelah pandemi Covid-19. Agenda pertemuan adalah bersilaturahmi, sharing dan arisan.
Satu persatu anggota P3S mulai berdatangan. Tak kurang dari 10 orang yang datang pagi itu. “Sebenarnya anggota yang masih menjadi bagian dari P3S itu sekitar tiga puluhan orang. Tapi karena ini perkumpulan pertama setelah dua tahun tak bertatap muka, maka sebagian ada yang tidak bisa datang,” kata Sugiarsi yang duduk di kursi. Ia tidak kuat untuk di bawah bersama para anggota P3S karena usia.
“Biasanya satu ruangan ini full,” katanya dengan nada agak keras agar suaranya tidak kalah dengan obrolan ibu-ibu yang sudah datang.
Tahun 2023 ini, usia P3S mencapai 14 tahun. Bukan waktu yang sebentar.
Ketika saya melemparkan pertanyaan apa rahasia P3S masih menjadi satu wadah bagi para penyintas sampai saat ini, masing-masing orang yang datang menjawab dengan antusias dan memiliki pandangannya sendiri-sendiri.
“P3S bisa bertahan sampai sekarang ya karena antara satu dan lainnya punya kesamaan. Nasib, latar belakangnya juga sama. Saya kalau di P3S merasa tidak sendiri atau paling menderita dalam menerima masalah hidup,” tutur Theresia (bukan nama asli).
Theresia adalah salah satu penyintas korban KDRT yang tergabung dalam P3S. Ia ditinggalkan oleh suaminya selama lebih dari 12 tahun karena hutang akibat ditipu orang. Pada mulanya, suami Theresia selalu marah dan bertindak kasar kepada dirinya ketika ditagih hutang. Kemudian, sang suami yang juga pendeta memutuskan untuk pergi meninggalkan Theresia dengan dua anaknya yang masih duduk di bangku SD dan balita.
“Ketika saya gabung di sini disambut dan mendapat banyak dukungan dari para penyintas yang lebih dulu bergabung dibandingkan saya. Hal yang sama juga didapatkan ketika ada korban KDRT ataupun kasus pemerkosaan terhadap anak. Kami saling mendukung dan menguatkan,” tambah Theresia menceritakan pengalamannya.
“Kalau menurut saya, P3S ini adalah keluarga kedua saya. Ketika ketemu dan kumpul seperti ini, kayak dapat recharge energi, dan ada semangat muncul dalam menjalani hidup. Karena kami juga menjadi support system untuk kawan yang memiliki latar belakang yang sama,” timpal Sinar (bukan nama asli), ketua P3S, dengan antusias yang duduk sedikit membelakangi kawan-kawan anggota P3S.
Sinar dahulu mengalami KDRT dalam rumah tangga dan memutuskan untuk berpisah dengan suaminya selama 2 tahun. Setelah berpisah, dirinya memutuskan untuk mengajukan cerai, namun Sinar dengan suaminya dimediasi oleh Sugiarsi dan keduanya sepakat untuk satu rumah kembali.
“Bagi saya, P3S ini tempat yang membuat saya merasakan ketenangan. Bisa sejenak menepi dari keruwetan kenyataan dan masalah. Itu ya karena semua bisa menjadi penghibur satu sama lain. Mereka yang tergabung dalam P3S bisa jadi tempat berbagi atau mereka berbagi dengan yang lain. Suara kami di sini didengar dan mendapat dukungan,” tutur Emy (bukan nama asli), mantan ketua P3S sebelum Sinar.
Emy juga mengatakan jika di P3S para anggota mendapatkan banyak pelatihan yang mampu meningkatkan skill, keterampilan dan bisa mendorong kemandirian. “Dulu pernah pelatihan pembuatan roti, keripik pisang ataupun ubi. Selain itu pelatihan mendaur ulang sampah plastik menjadi barang yang dapat dimanfaatkan seperti tas, dompet. Ada juga pemanfaatan kain perca dibuat menjadi gantungan kunci seperti yang saya pakai ini,” ucapnya dengan memperlihatkan gantungan kunci motor yang dibalut kain hitam.
“La yang ngasih pelatihan ya itu,” sela Sugiarsi sambil menunjuk ke arah Emy.
“Jadi, di sini yang menjadi pelatih, mentor, dan pembimbing ya dari para penyintas sendiri. Dari penyintas, oleh penyintas, dan oleh penyintas. Bukannya tidak mau mengambil dari luar tapi, ini adalah wujud bahwa penyintas sendiri mampu dan bisa mandiri,” timpal Sugiarsi.
“Selama ini yang menjadi mentor untuk keterampilan membuat kerajinan ya dia. Kalau untuk membuat roti dan olahan kue ada lagi tapi ndak bisa datang hari ini.”
Keterampilan yang didapatkan para anggota P3S ditularkan kepada orang-orang di sekitar mereka.
“Sore ini, ada anak muda yang mau belajar di tempat saya membuat pukis. Dia belajar karena mau jualan pukis,” kata Theresia dengan antusias.
Selain Theresia yang fokus pada pembuatan roti, ada anggota P3S yang menekuni pembuatan roti sejak awal masuk paguyuban hingga sekarang. “Sebut saja namanya Lestari mas. Tapi bukan nama asli ya itu. Tapi beliau tidak bisa datang di acara hari ini. Beliau sampai bisa jualan dari keahliannya membuat roti,” ujar Sinar.
“Kalau saya sebelum covid-19 kerja sama dengan konveksi. Saya dapat kain perca terus saya buat kerajinan, kemudian dijual dapat uang. Tapi semenjak pandemi pesanan dan kain perca menurun. Tapi yang masih eksis dan terus membuat kerajinan itu ya mentor kami itu, Bu Emy. Beliau juga produksi kerupuk amta atau ampas tahu,” tambah Sinar.
“Kerajinan lain yang saya buat tas dan dompet dari barang bekas. Kalau kerupuk ampas tahu (amta) sedang tidak buat. Karena tidak ada panas, jadinya bisa tengik. Tidak enak dimakan kalau sudah begitu. Bagi kami ini sangat membantu kami mendapatkan uang sendiri,” jawab Emy merespon perkataan Sinar.
“Penguatan ekonomi seperti yang diharapkan P3S itu dirasakan Mas. Tapi itu dirasakan kalau orangnya mau sungguh-sungguh menerapkan pelatihan atau usaha yang diberikan. Terus ketika kumpulan seperti ini kami juga menyisihkan uang untuk keperluan membantu korban kekerasan yang membutuhkan. Atau kadang juga dadakan kalau ada korban kekerasan baru yang membutuhkan segera kami ya membantu sebisanya baik uang maupun dukungan moril,” ucap Sinar.
“Bukan hanya itu. Selain pelatihan wirausaha, para anggota P3S juga diajarkan tentang pendidikan atau peningkatan tentang penyadaran gender dan HAM. sharing section dengan penyintas lainnya,” tutur Sugiarsi.
“Tapi yang paling menyenangkan adalah terapi dengan mami. Mami bagi kami di P3S sudah seperti ibu. Ibu kita semuanya pokoknya. Beliau the best, inspirasi bagi kami. Semoga beliau dipanjangkan umurnya,” ujar Sinar sebelum dirinya membuka buku arisan dan absensi pertemuan tersebut.
Tak lama berselang, obrolan berganti fokus dan mulai mengecil. Digantikan obrolan tentang siapa anggota yang tidak datang. Percakapan kembali pada saat Sinar dan Utami (bukan nama asli) menyebut satu persatu nama di buku arisan untuk menyetorkan uang arisan. Arisan kemudian digelar. Disusul pengumuman pertemuan berikutnya.
“Semoga kita tetap dalam keadaan sehat dan bisa komplit yang datang,” seru Sugiarsi kepada semua hadirin yang sekaligus menjadi penutup acara pertemuan.
Satu persatu anggota P3S beranjak dari tempat duduknya. Mereka saling bersalaman dengan memutari ruangan. Tak jarang mereka melemparkan candaan. Ketika bersalaman dengan Sugiarsi, tidak sedikit yang bercipika-cipiki serta memeluknya.
Tak kurang dari 25 menit, Sugiarsi bersama Dinar sampai di depan rumah milik Sugiarsi yang sekaligus dijadikan sebagai shelter bagi para korban kekerasan. Sejak hari itu, Dinar dirawat dan didampingi oleh Sugiarsi.
Hari demi hari berlalu, dukungan berdatangan dari berbagai pihak yang turut prihatin dengan tragedi yang terjadi awal tahun 2016 tersebut.
Pada suatu pagi saat matahari belum terlalu tinggi, Sugiarsi berangkat ke Pasar Blimbing dengan berjalan kaki. Saat membeli sayur di suatu lapak, penjual tersebut berkata, “Wis Mi, gak usah bayar. Kanggo ngopeni bocahe kae to?”. Hal sama juga diterima Sugiarsi ketika mendatangi toko kelontong untuk membeli susu kental manis. “Gowo wae Mi. Semoga bisa sedikit meringankan,” ungkap Sugiarsi menjelaskan apa yang dialaminya 7 tahun silam.
Sugiarsi yang pagi itu mengenakan jilbab putih dengan dihiasi manik-manik di bagian pinggirnya, sejenak menghela napas. “Itu adalah kasus paling berat, menguras tenaga dan banyak sorotan dari berbagai daerah bahkan dari luar negeri,” ia menghela napas lagi dan menjatuhkan badannya ke sandaran kursi di belakangnya.
Selama di shelter, Sugiarsi terus memberikan pendampingan psikologi, penguatan, dan terapi doa, metodenya yang sudah banyak digali dan dijadikan penelitian banyak perguruan tinggi. Tak kurang dari enam bulan Dinar bersama Sugiarsi tinggal di shelter yang sekaligus kantor APPS ataupun P3S. Selama itu pula, Sugiarsi dan beberapa pengurus APPS mendampingi di persidangan untuk memastikan pengadilan dalam bersidang sesuai sistem peradilan anak sebagaimana UU Nomor 11 tahun 2012.
“Hal yang mendorong saya turut mendampingi dalam persidangan bersama mami adalah kemanusiaan dan peduli terhadap sesama. Lebih-lebih korbannya anak perempuan dan mengalami kekerasan yang tidak manusiawi,” ujar Emy.
Pada Juni 2016, Pengadilan Negeri Sragen memutuskan bahwa Dinar divonis hukuman percobaan selama 2 bulan. Sedangkan untuk keluarga yang menjadi tersangka penelanjangan dan pengarakan keliling desa masing-masing divonis berbeda. Sukamto dan istrinya, Wiji Lestari, divonis 4 tahun penjara dan denda 1 milyar. Adik Sukamto, Sukarno, divonis 2 tahun penjara dan denda 1 milyar. Sedangkan ibu dari Sukamto, Karni Broto Mindarjo, divonis 1,5 tahun dengan denda 1 milyar.
Kondisi Dinar saat itu sangat trauma. Pada mulanya Dinar yang masih duduk di bangku SMP tidak mau masuk sekolah karena dirinya masih trauma dan ada kemungkinan untuk dihina ataupun dikucilkan. Penguatan dan pendampingan terus dilakukan oleh Sugiarsi. Pada akhirnya, setelah beberapa bulan bersama Sugiarsi, Dinar akhirnya mau pergi bersekolah. Setiap pagi ia diantar oleh Sugiarsi.
“Sebelum dia mau bersekolah, kami mendatangi sekolahan. Kami memberikan pemahaman dan meminta agar jangan sampai dia mendapat bullying. Kalau sampai terjadi, akan kami tindaklanjuti. Itu adalah bagian dari upaya menerapkan nilai reintegrasi,” ujar Sugiarsi.
Setelah memberikan pemahaman kepada sekolah, fokus APPS adalah dengan mengembalikan fungsi sosial dari Dinar serta keluarga. Sugiarsi dan APPS pun bergerak dengan cara memberikan pemahaman terhadap lingkungan sekitar.
“Waktu itu, kami juga mendatangi Balai Desa, memberikan pemahaman kepada kepala desa, ketua RT, ketua RW tempat Dinar tinggal. Hal yang kami sampaikan kurang lebih sama, jangan sampai ada pengucilan dari warga sekitar terhadap Dinar dan keluarganya,” kata Sugiarsi.
Baik Sugiarsi dan APPS masih terus mendampingi Dinar dan keluarga sampai beberapa bulan. “Akhirnya semua bisa kembali seperti semula. Dinar sudah mau sekolah dan keluarganya bisa kembali beraktivitas sebagaimana adanya,” cakap Sugiarsi.
Dari perjuangannya mendampingi kasus Dinar tersebut, nama Sugiarsi tercatat di dokumen Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai aktivis perempuan tingkat dunia.
Sampai di usia 81 tahun, Sugiarsi masih punya semangat sama seperti 18 tahun lalu ketika memutuskan untuk bergelut dengan isu gender, HAM dan aktivisme. Tetap melawan ketidakadilan, mendampingi penyintas di P3S, melayani mahasiswa yang melakukan penelitian atau magang dan mendampingi kasus kekerasan terhadap perempuan.*
Tulisan ini adalah hasil tindak lanjut dari kelas Narrative Journalism Tour yang diselenggarakan di Semarang oleh Yayasan pantau. Liputan ini juga terpilih dan mendapat hibah dari Yayasan Pantau
Penulis: Muhamad Sidik Pramono
No Comments