Puan Dukung Puan

Puan Dukung Puan

Saat Perempuan Korban Kekerasan Bangkit untuk Berdaya Bersama

AWAL Januari 2016, Sugiarsi tengah berada di rumah putrinya di Semarang ketika pada suatu senja suara panggilan WhatsApp berdering. Ia menggeser simbol warna hijau ke atas dan mendekatkan gawai ke telinga. Terdengar suara Mursito, ketua Komite Penegak Hak Asasi Manusia (KOMPAK HAM), yang berada nun jauh di Sragen.

“Halo… Mami! Mami pokoknya harus pulang, ada kasus yang terjadi di Sragen, Mi,” ujar Mursito dengan suara bergetar. Ia berusaha mengutarakan informasi secukupnya mengenai seorang anak SMP ditelanjangi dan diarak keliling desa karena mencuri pakaian bekas dan sepasang sandal bekas.

“Ini kalau Mami yang tidak mengurus tidak akan jalan.”

Sugiarsih terbelalak mendengar penuturan Mursito. Raut wajahnya seketika berubah. Sehari setelahnya, dibonceng anaknya dengan sebuah motor Megapro hitam, Sugirasih menembus dinginnya pagi, menyusuri jalan berkelok dengan sesekali lubang jalan, menuju Sragen. Sugiarsi mencoba menikmati suguhan pemandangan di sepanjang jalan yang ia lalui. Namun pikirannya selalu menerawang ke kisah yang disampaikan Mursito.

Bagi Sugiarsi sebagai ketua Aliansi Peduli Perempuan Sukowati (APPS), apa yang dialami gadis SMP itu adalah tragedi kemanusiaan. Menempatkan perempuan pada di titik nadir. Kepulangannya tidak lain adalah panggilan kemanusiaan untuk menyelesaikan tragedi tersebut.

Sekira tiga jam perjalanan Sugiarsi tiba di rumah berwarna kuning pudar. Satu persatu barang bawaan diturunkan. Hari itu ia tak akan langsung mendatangi korban pelecehan. Ia ingin mengistirahatkan diri dulu. Maklum, usianya sudah 75 tahun. Ia juga harus membersihkan rumah yang berhari-hari ditinggalkannya.

Keesokan harinya, setelah melakukan rutinitas jalan pagi mengelilingi desa, Sugiarsi berkemas dan menyiapkan diri untuk mendatangi korban pelecehan. Dengan mengenakan jas hitam lengkap dengan pin bertuliskan Aliansi Peduli Perempuan Sukowati (APPS), ia melajukan motor Spin hitam menuju kediaman Dinar, bukan nama sebenarnya. 20 menit kemudian Sugiarsi sampai ke tujuan. Ia memarkir motor jauh dari kediaman Dinar.

Sejak kejadian, rumah Dinar selalu ramai orang. Tetangga, aktivis HAM, pejabat pemerintah desa hingga kecamatan, polisi, jurnalis lokal hingga nasional berkerumun di dalam hingga pelataran rumah.

Sugiarsi mendekat. Kedatangannya segera disambut Mursito. “Mami… Mami… Ayo, Mami sudah ditunggu,” ujarnya sembari menjabat tangan Sugiarsi dan mengajaknya masuk ke dalam rumah Dinar. Mereka menerobos kerumunan. Orang-orang memberikan jalan.

Di dalam rumah, didampingi ibunya, Dinar terduduk lesu di lantai beralaskan tikar. Kepalanya tertunduk. Mulutnya terkunci tapi air matanya tak berhenti mengalir. Dua hari berlalu setelah kejadian, namun tak ada tindakan apapun dari polisi maupun pejabat setempat. Tak ada penangkapan terhadap orang-orang yang menelanjangi dan mengarak Dinar. Dinar juga belum mendapat konseling ataupun pendampingan dari pihak manapun.

Mami Sugiarsi menaruh tas kemudian duduk di samping Dinar. Tangan kanannya mengelus kepala sementara tangan kirinya merengkuh tubuh Dinar. Tubuh Dinar perlahan tenggelam dalam rangkulan Sugiarsi. “Tenang Dinar, sekarang ada mami di sini bersama Dinar. Mami bakal ngancani Dinar,” bisik Sugiarsi sambil mengelus.

Setelah Dinar tenang, Sugiarsi mengutarakan niatnya untuk memberikan pendampingan, baik untuk pemulihan psikologi maupun aspek hukum. Ia mengulurkan surat kuasa untuk ditandatangani pihak keluarga Dinar. Setelah itu Sugiarsi bersama Dinar dan keluarga bergegas menuju Polres Sragen. Mereka melaporkan kejadian dua hari sebelumnya dan membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

Jarum jam dinding menunjuk angka 10. Setelah berjam-jam BAP rampung dan ditandatangani, Sugiarsi dan rombongan meninggalkan Polres Sragen.

Dinar tak ikut pulang bersama keluarganya tapi dibawa menuju rumah Sugiarsi yang dijadikan shelter bagi korban kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), baik perempuan maupun anak, dan juga kantor APPS maupun Paguyuban Perempuan Penyintas Sukowati (P3S).

*****

SEJAK pagi, gerimis membasahi wilayah timur Kabupaten Sragen. Sesekali tiupan angin menggoyangkan daun dan dahan pepohonan di pekarangan. Di dalam rumah Sugiarsi duduk di sebuah kursi menghadap jendela.

Dinding rumah Sugiarsi penuh dengan bingkai yang berisikan sertifikat, foto dan poster kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan anak. Tumpukan buku berselimut debu tersusun di atas meja. Di atas buku-buku itu terdapat piagam dengan simbol Keraton Kasunan Surakarta yang menerangkan bahwa Sugiarsi masih ada hubungan dengan keraton.

Sugiarsi adalah putri ketiga dari lima bersaudara pasangan Sudarmo dan Sudarmi. Ia dibesarkan oleh ayah yang bekerja di Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sragen dan ibu yang bekerja sebagai pedagang.

“Mami sudah sejak 2001 bergelut di isu perempuan dan anak, ketika masih menjadi pegawai di BKKBN [Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional],” katanya sembari menerawang sudut kanan atas dari tempatnya duduk. Ia sudah tidak bekerja di BKKBN sejak Oktober 1998, setelah 27 tahun mengabdi di lembaga tersebut.

“Soal berdirinya P3S, itu tidak bisa dipisahkan dengan APPS,” kata Sugiarsi.

“Ya karena kelahiran P3S itu buah dari adanya APPS. Itupun berdirinya terpaut lumayan lama. P3S berdiri lima tahun setelah APPS.”

Pada 2004, Sugiarsi mengikuti pelatihan tentang HAM dan penguatan perempuan yang diadakan oleh Yayasan Indonesia Sejahtera –kini, Yayasan Insan Sembada (YIS) – di Surakarta. Setelah pelatihan, ia bersama Maryati, seorang dokter yang bekerja di Dinas Kesehatan Kabupaten Sragen, mendapat tugas atau kewajiban sebagai Rencana Tindak Lanjut, yakni mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat dengan fokus perempuan di Sragen.

“Saat itu di Sragen belum ada LSM yang berfokus pada isu itu,” katanya sembari membenahi jilbab warna putih yang dikenakannya.

Bersama dokter Mariyati, Sugiarsi mendirikan Aliansi Peduli Perempuan Sukowati (APPS) pada 1 Oktober 2004. Pada mulanya APPS tidak berjalan sendiri. Selama setahun didampingi oleh Yayasan Krida Paramita yang berkantor di Surakarta. Yayasan ini memiliki fokus pada isu sumber daya manusia, ekonomi rakyat, dan kesehatan masyarakat.

Kantor APPS berlokasi di jantung Kabupaten Sragen, tepatnya di Taman Asri. “Saat itu kantor kami masih mengontrak dan itu dibantu oleh kawan-kawan Yayasan Krida Paramita. Itu berjalan sampai beberapa tahun,” jelas Sugiarsi.

Setelah beberapa bulan berjalan, awal tahun 2005, barulah ada laporan kasus yang masuk ke meja kantor APPS di jantung Kabupaten Sragen, tepatnya di Taman Asri. Sugiarsi mengatakan, kasus pertama yang masuk di APPS adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). “Singkat cerita, kasus yang dilaporkan ke APPS bisa diselesaikan dengan baik.”

Tak sampai tiga tahun, menyusul kesehatan dokter Maryati yang memburuk, Sugiarsi dipilih sebagai ketua APPS, sampai sekarang. Tak ada yang mau menggantikannya, sekalipun pergantian pengurus diadakan setiap tiga tahun sekali. “Tetep kudu dilakoni. meh kepiye maneh Mas?,” tuturnya sembari menghela napas dalam.  

“Setelah kasus pertama selesai, satu per satu laporan masuk ke APPS. APPS mulai dikenal oleh masyarakat dari berbagai kecamatan di Kabupaten Sragen. Kasusnya beragam, dari KDRT, kekerasan pada anak, kekerasan seksual, perkosaan, human trafficking, penganiayaan hingga pornografi,” ujar Sugiarsi sambil menutupkan jari demi jari untuk mengingat kasus-kasus yang ditanganinya bersama APPS.

Sugiarsi membongkar map plastik berisikan lembaran-lembaran kertas warna biru dan putih. Lembar biru adalah leaflet yang bertuliskan profil APPS. Satu lembar lagi berisikan data kasus yang sudah ditangani oleh APPS dari tahun 2005 sampai dengan 2022.

Total ada 695 kasus. Dengan rincian, KDRT berjumlah 439 kasus dengan 32 korban di antaranya anak-anak, perkosaan (83) dengan korban anak sebanyak 80, pencabulan atau persetubuhan (143) semua korbannya adalah anak-anak, pelecehan seksual (2), human trafficking (6) yang semua korbannya anak-anak, penganiayaan (20) dengan jumlah korban anak 16, dan pornografi (2) yang salah satu korbannya adalah anak-anak.

Dari waktu ke waktu, APPS tetap konsisten menangani dan mendampingi korban kekerasan terhadap perempuan ataupun anak. Kasus terbaru yang masih berjalan dan didampingi oleh APPS hingga saat ini adalah pemerkosaan terhadap siswi di salah satu SMK di Kabupaten Sragen. Ia diperkosa oleh pemilik tempatnya menjalankan Praktek Kerja Lapangan (PKL) pada April 2022. Kemudian, siswi tersebut bersama keluarga melaporkan pemerkosaan tersebut ke Polres Sragen. Namun, pihak siswi tersebut dilaporkan balik oleh pelaku pemerkosaan dengan tuduhan melakukan perbuatan tidak menyenangkan.

APPS dalam kasus tersebut melakukan pendampingan secara legal serta pemulihan psikis. Korban yang berumur 16 tahun tersebut mengalami trauma sehingga diperlukan konseling, rehabilitasi, dan pemulihan psikologis.

“Pihak keluarga meminta APPS untuk mendampingi korban. Hingga sekarang kasus terus berjalan. Namun, pelaku sampai sekarang masih buron dan masuk DPO karena minggat entah kemana,” ujar Sugiarsi.

Selain pemerkosaan terhadap siswi SMK, di Sragen juga terjadi pemerkosaan anak di bawah umur oleh ayah tiri. Terdapat juga pemerkosaan terhadap anak disabilitas yang masih di bawah umur.

Menurut Sugiarsi kasus-kasus pemerkosaan terhadap anak terus terjadi karena kurang perlindungan terhadap anak, pola pengasuhan anak yang kurang optimal dan juga pengembangan karakter generasi muda yang perlu ditingkatkan.

*****

Ada nilai-nilai yang dipegang oleh APPS dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak, yakni rehabilitasi, reintegrasi, dan refungsionalisasi.

“Ketiganya ini perlu ada agar transformasi korban menjadi penyintas yang berdaya bisa terjadi. Tapi paling penting adalah tidak terulang kembali kekerasan yang dialami,” jelasnya sembari mengacungkan tiga jari untuk mewakili ketiga nilai yang dipegangi oleh APPS.

Rehabilitasi dilakukan saat ada laporan masuk terkait sebuah kasus. Rehabilitasi dilakukan dengan cara penguatan psikis atau ditempatkan pada shelter agar korban dapat kembali kuat baik fisik maupun psikis. Reintegrasi dilakukan dengan penguatan ekonomi dan pengondisian lingkungan. Ini dilakukan dengan memberikan edukasi kepada masyarakat sekitar agar tidak mengucilkan korban kekerasan atas perempuan. Lalu untuk refungsionalisasi secara optimal berfokus pada peran di keluarga, lingkungan dan juga masyarakat.

Di APPS rehabilitasi, reintegrasi, dan refungsionalisasi sudah mulai dilakukan. Namun, penguatan kepada korban belum menyentuh pada ranah ekonomi.

“Padahal kemandirian ekonomi ini jadi satu hal penting untuk perempuan, utamanya yang sudah berkeluarga. Kebanyakan penyintas yang masih terhubung dengan APPS adalah ibu-ibu yang pernah mengalami KDRT atau kekerasan. Tak jarang, mereka menjadi korban KDRT lagi karena itu (ekonomi). Nah merekalah yang menjadi sasaran untuk berdaya secara ekonomi.”

Pada 2009, dorongan dan gagasan untuk menciptakan kemandirian ekonomi perempuan semakin membulat. Bak gayung bersambut, pada tahun yang sama APPS mendapat bantuan pelatihan wirausaha dari Dinas Sosial Jawa Tengah. Pelatihan tersebut melibatkan para penyintas.

“Kemandirian ekonomi kan tidak cukup dengan hanya pelatihan wirausaha yang hanya sekali dilakukan,” tuturnya dengan mengubah posisi duduk.

Setelah berdiskusi dengan semua pengurus APPS, Sugiarsi membentuk Paguyuban Perempuan Penyintas Sukowati (P3S). Sebanyak 60 penyintas yang pernah didampingi APPS terlibat di dalamnya. Sejak itu pelatihan demi pelatihan diadakan. Selain pelatihan wirausaha pada awal-awal 2009, diadakan pula pelatihan memasak, kerajinan dari barang bekas, hingga pembuatan tas anyaman.

Sugiarsi beranjak menuju ruang tengah dan kembali dengan membawa buah karya para penyintas. “Ini lho, saya ambilkan hasil dari para penyintas memanfaatkan barang bekas menjadi kerajinan,” ujarnya. “Ada tas, dompet, tikar yang dianyam, semua memanfaatkan barang bekas atau sampah.”

Bukan hanya pelatihan yang semakin banyak dari waktu ke waktu. Dukungan pun berdatangan dari berbagai pihak baik pemerintah, pribadi, hingga pihak swasta.

“Bersyukur, P3S mendapat dukungan dari berbagai pihak. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah melalui Dinas Sosial pada 2010 itu memberikan bantuan berupa alat usaha untuk membuat keripik. Lalu Pemerintah Daerah Kabupaten Sragen melalui Dinas Sosial 2011 memberi bantuan bahan-bahan untuk membuat roti. Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan juga turut memberikan bantuan agar P3S dan para anggota dapat terus berjalan dan mandiri secara ekonominya,” ungkap Sugiarsi diikuti dengan helaan napas dan menyandarkan diri pada sandaran kursi.

Tulisan ini adalah hasil tindak lanjut dari kelas Narrative Journalism Tour yang diselenggarakan di Semarang oleh Yayasan pantau. Liputan ini juga terpilih dan mendapat hibah dari Yayasan Pantau

Penulis: Muhamad Sidik Pramono

*****

No Comments

Post A Comment

Mulai Percakapan
Layanan Support
Selamat datang di website Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta!
Apa yang bisa kami bantu?