Belajar dari Tokoh Feminisme di Masa Awal: Mary Astell

Belajar dari Tokoh Feminisme di Masa Awal: Mary Astell

Tulisan ini merupakan kelanjutan dari seri sebelumnya seputar perjalanan panjang feminisme. Pasang surut feminisme tidak terlepas dari perjalanan panjang di Benua Eropa. Dalam perjalanan feminisme Abad ke-18 terdapat beberapa tokoh terkenal akan karyanya. Tokoh-tokoh ini sangat mendobrak pemikiran feminisme dimasa awal saat perempuan masih berada dalam bayang-bayang masukulinitas yang dominan dalam tatanan sistem bangsawan Eropa. Hal ini mengisyaratkan bahwa budaya patriarki telah menjadi bagian dari budaya barat pada waktu itu. Sehingga melalui artikel ini, penulis ingin membawa pembaca kembali menilik sejarah  dengan berkaca pada apa yang telah terjadi.

Ialah Mary Astell, dapat dikatakan sebagai tokoh feminis sejati paling awal. Ia berasal dari Inggris, merupakan penulis perempuan yang pertama kali mengungkap dan menekankan ide tentang perempuan. Lahir pada Tahun 1666 dan menjadi yatim piatu disaat usia ke 12 Tahun. Pengalaman kelam ia dapati dimasa akhir remajanya yaitu depresi yang mendalam terutama ketika ia membayangkan masa depannya akan tampak kelam apabila ambisinya tidak dapat dipenuhi.

Dalam awal perjalanan kariernya ia menuliskan puisi yang menggambarkan rasa frustasinya terhadap gambaran masa depan. Hingga ia memutuskan untuk keluar dari kota kelahirannya di Chelsea dan beralih ke London untuk mengadu nasib, tetapi tidak ada sanak saudara yang turut membantunya. Pada 1688, ia menuliskan surat pada Uskup Agung Canterbury mengungkapkan keputusasaannya tidak dapat memperoleh pendidikan sama seperti kaum laki-laki. Sementaa baginya perempuan diciptakan sama cerdasnya seperti laki-laki dan harus memiliki akses pendidikan yang tinggi juga.

Pada tahun 1694 tulisan pertamanya terbit yaitu A Serious Proposal to the Ladies dengan maksud mendesak para perempuan untuk serius, perempuan harus belajar berpikir dan bekerja mengembangkan pikiran dan keterampilan diri mereka sendiri daripada harus tunduk dalam realitas bayang-bayang maskulinitas. Dalam buku Thoughts on Education, sebuah karya yang merintis, merangsang tekanan dan desakan pada perempuan untuk dididik dengan baik. Karyanya menjadi terobosan di era yang tepat, karena momentum setelah reformasi dan penutupan banyak Biara mempersulit perempuan Inggris untuk mendapatkan pendidikan. Ia mendorong bahwa Perempuan sama cakapnya dengan laki-laki dan yang perempuan butuhkan bukan pelatihan keras melainkan pembinaan dan peningkatkan kapasitas mereka.

Tahun 1700 dalam bukunya  Some Reflection Upon Marriage, ia menjawab sebuah pertanyaan “Apakah perempuan miskin memiliki pilihan lain dan lebih, selain harus menikah dan memiliki suami?”. Memang ia mengakui bahwa seorang istri menjadi “Pelayan bagi Pria” namun ia memiliki sketsa ideal untuk perempuan suatu saat dapat hidup dalam buku pertamanya. Biara yang sekuler, tempat perempuan bisa hidup bersama, pensiun dari hingar bingar dunia dan perasaan bahagia serta dapat mengembangkan dirinya. Some Reflection Upon Marriage memberikan sebuah saran yang lengkap dan sederhana bahwa perempuan penting untuk mengeyam pendidikan hingga perguruan tinggi sehingga pilihan hidup perempuan tidak bergantung kepada laki-laki saja.

Pergerakan feminisme mulai nyata dengan buku-buku yang dibuat oleh para perempuan. Kontribusi besar Mary Astell terhadap feminisme ialah bagaimana ia mendesak perempuan untuk dapat menganggap diri mereka serius, percaya dengan penilaian mereka terutama dalam memutuskan pilihan untuk mengembangkan bakat dan mendidik diri mereka sendiri. Sejarah mencatat pada akhir abad ke–18 telah lebih banyak perempuan yang terdidik setidaknya dapat membaca dan menulis.

Ferry Mahulette – Volunter SP Kinasih

No Comments

Post A Comment

Mulai Percakapan
Layanan Support
Selamat datang di website Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta!
Apa yang bisa kami bantu?