Mengurai Kebijakan Sampah di DIY dari Perspektif Gender

Mengurai Kebijakan Sampah di DIY dari Perspektif Gender

Penutupan Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan dari 23 Juli hingga 5 September 2023 telah menjadi tanda bahwa Yogyakarta kembali menghadapi darurat sampah. Ini bukan pertama kalinya TPST Piyungan ditutup akibat sampah yang membludak. Bahkan pasca pembukaan kembali TPST Piyungan, pembatasan tetap diberlakukan. Masyarakat kesulitan membuang sampah, dan kondisi ini telah mempengaruhi kawasan wisata serta pemukiman warga. Menurut data Dinas Lingkungan Hidup DIY, pada tahun 2022, volume sampah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mencapai 1.500 ton per hari, sedangkan kapasitas Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan hanya 1.000 ton per hari. Penyebab kondisi ini, di samping kesadaran masyarakat yang masih minim, kebijakan pemerintah DIY terkait penanganan sampah juga patut disorot. Pemerintah terlalu mengandalkan penambahan lahan dan lokasi TPA, serta hanya menekankan warga untuk mengolah sampah secara mandiri di tingkat rumah tangga. Namun, kebijakan ini tidak disertai dengan sanksi tegas bagi pelanggar dan dukungan infrastruktur yang memadai bagi masyarakat.

Meskipun sumbangan sampah sektor rumah tangga memiliki persentase yang tinggi, pengurangan angka sampah tidak bisa hanya mengandalkan peran masyarakat tingkat rumah tangga. Selain progresnya yang cukup lambat dan kurang efisien, perlu dipertimbangkan bagaimana setelah sampah dipilah. Tidak semua masyarakat memiliki akses untuk menjual sampah daur ulang, memiliki lokasi yang cukup untuk daur ulang, dan tidak semua mampu mengolah sampah menjadi barang yang bernilai ekonomis atau estetis. Mengingat banyak bank sampah yang tidak aktif, hal itu tentunya akan mempengaruhi beban domestik yang sebagian besar menjadi ranah perempuan. Perempuan memiliki peran penting dalam pengelolaan sampah rumah tangga, mulai dari memilah sampah, menyimpan sampah, membawa sampah ke tempat penampungan sementara (TPS), hingga mengikuti kegiatan daur ulang. Namun, peran ini belum sepenuhnya diakui sebagai kontribusi ekonomi dan sosial oleh masyarakat maupun pemerintah. Perempuan juga tidak mendapatkan insentif atau fasilitas yang memudahkan mereka dalam mengelola sampah. Sebaliknya, mereka harus menghadapi berbagai tantangan dan risiko, seperti kurangnya pengetahuan dan keterampilan, kurangnya modal dan alat, kurangnya akses pasar dan informasi, serta ancaman kesehatan reproduksi dan psikologis akibat paparan bahan kimia berbahaya dari sampah.

Berdasarkan Kajian Gender dan Perubahan Iklim Kota yang sempat dilakukan oleh tim Solidaritas Perempuan Kinasih pada tahun 2022, perempuan cenderung hanya dilibatkan pada pelaksanaan aksi relevan iklim, tetapi tidak dilibatkan di dalam perencanaan dan evaluasi aksi-aksi iklim. Keterlibatan perempuan terlihat lebih pada tataran aksi-aksi lingkungan seperti kegiatan bank sampah, urban farming, kampung hijau, namun tidak pada tataran pembuatan kebijakan maupun perencanaan program dan aksi. Padahal jika melihat pada dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Kota Yogyakarta Tahun 2017, peningkatan pengelolaan sampah merupakan salah satu komitmen pemerintah mengenai isu lingkungan. Sayangnya, berbagai program yang dicanangkan masih pada konteks program lingkungan hidup, tidak secara khusus dalam program perubahan iklim yang responsif gender. Hal ini terlihat dari (a) tidak adanya kajian gender terhadap aksi yang dilakukan; (b) tidak ada pelibatan pakar gender pada perencanaan dan pelaksanaan program relevan iklim; dan (c) tidak ada kesadaran yang dibangun mengenai hubungan antara gender dan perubahan iklim. Hal tersebut justru akan berdampak pada bertambahnya beban dan menguatnya domestifikasi perempuan di ruang publik melalui kegiatan-kegiatan merawat seperti pada program kampung hijau. 

Penambahan lahan dan lokasi baru sebagai Tempat Penampungan Akhir (TPA) hanya akan menambah masalah baru. Timbunan sampah baru tentunya akan memperbanyak resiko. Dampak sampah yang tidak terkendali ini sangat berpengaruh pada perempuan, terutama dalam hal kesehatan reproduksi, psikologis, dan ekonomi. Dari segi kesehatan reproduksi, sampah menimbulkan menurunnya hormon kesuburan dan kemampuan menghasilkan sel telur yang sehat akibat terpapar bahan kimia pengganggu hormon (endocrine disruptors) yang terdapat dalam sampah plastik. Paparan bahan kimia berbahaya dari sampah dapat mengakibatkan perempuan mengalami keguguran atau melahirkan bayi cacat. Dari segi psikologis, sampah dapat menimbulkan gangguan kesehatan mental bagi perempuan akibat stres, depresi, atau trauma. Perempuan rentan mengalami diskriminasi dan pelecehan seksual. Perempuan yang bekerja sebagai pemulung atau pengepul sampah dapat mengalami stigma, ejekan, atau bahkan kekerasan fisik dan seksual dari pihak lain. Dampak sampah yang membludak dan tidak terkendali juga dapat mempengaruhi balita yaitu meningkatnya risiko stunting pada anak balita akibat terpapar bahan kimia berbahaya dari sampah plastik yang terbakar atau tercemar. 

Salah satu permasalahan utama adalah tidak adanya kebijakan tegas terkait Peraturan Daerah DIY No. 3 Tahun 2013 Pasal 11 yang menyatakan bahwa produsen wajib menghasilkan produk dengan menggunakan kemasan yang mudah diurai oleh proses alam dan yang menimbulkan sampah sesedikit mungkin. Implementasi peraturan ini belum jelas, dan belum ada sanksi yang diberlakukan. Perlu ada kebijakan lebih lanjut, seperti yang telah diterapkan di Bali dan Surabaya, terkait penggunaan plastik sekali pakai. Menurut data Dinas Lingkungan Hidup DIY, plastik menyumbang sekitar 20 persen dari total sampah di DIY. Plastik merupakan bahan yang sulit terurai dan berpotensi mencemari lingkungan dan kesehatan manusia. Oleh karena itu, perlu adanya larangan atau pembatasan penggunaan plastik sekali pakai, tidak hanya oleh konsumen tetapi juga baik oleh produsen maupun distributor. Contoh kebijakan yang bisa diterapkan adalah kebijakan pemerintah provinsi Bali yang melarang penggunaan plastik sekali pakai, seperti kantong plastik, sedotan plastik, dan styrofoam, sejak tahun 2019. Kebijakan ini berhasil menurunkan volume sampah plastik di Bali sebesar 30 persen dalam dua tahun.

Pemerintah DIY harus segera mengkaji ulang kebijakan penanganan sampah dan mencari solusi jangka panjang yang lebih efektif. Selain itu, perlu adanya edukasi dan kampanye yang masif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pengelolaan sampah yang baik dan ramah lingkungan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa masalah sampah di DIY merupakan masalah yang kompleks dan multidimensi, yang tidak bisa diselesaikan dengan kebijakan yang parsial dan sektoral. Perlu adanya kebijakan yang komprehensif dan berperspektif gender, yang tidak hanya menekankan pada pengelolaan sampah dari tingkat rumah tangga, tetapi juga pada pengolahan akhir sampah anorganik, larangan atau pembatasan penggunaan plastik sekali pakai, serta pemberdayaan dan perlindungan perempuan sebagai aktor utama dalam pengelolaan sampah. Dengan begitu, masalah sampah di DIY bisa diurai dengan lebih efektif dan efisien, serta memberikan manfaat bagi lingkungan, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat.

Gloria M. K. – Volunteer SP Kinasih

No Comments

Post A Comment

Mulai Percakapan
Layanan Support
Selamat datang di website Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta!
Apa yang bisa kami bantu?