08 Jun Hari Lingkungan Hidup 2024: Regenerasi Bumi dan Upaya Melawan Patriarki Regulasi
Reporter: Maria Al-Zahra
Setiap tanggal 5 Juni selalu diperingati sebagai Hari Lingkungan Hidup. Banyak kalangan di berbagai daerah merespon peringatan ini melihat bagaimana kondisi lingkungan hidup di Indonesia yang semakin memburuk. Tak terkecuali di Yogyakarta.
Solidaritas Perempuan Kinasih bersama berbagai NGO, komunitas, mahasiswa, lembaga keagamaan, individu, masyarakat sipil yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Iklim (JAMPIKLIM) menyelenggarakan Parade Budaya dan aksi diam memperingati Hari Lingkungan Hidup 2024. Parade budaya dan aksi diam ini dilakukan di depan Gedung Agung pada 5 Juni 2024.
Aksi ini membawa slogan, ‘Satu Bumi Beregenerasi’. Slogan ini tak datang begitu saja sebagai pemanis untuk bergaya-gayaan. Namun, merupakan refleksi atas deforestasi alam yang menjadi sumber kehidupan manusia yang semakin tergerus karena nafsu para pemangku kebijakan.
Sana Ullaili Ketua Badan Eksekutif Komunitas SP Kinasih, menjelaskankan bahwa regulasi seperti UU Cipta Kerja dan UU Minerba justru mencelakai alam. Regulasi itu mengeksploitasi alam habis-habisan tanpa memikirkan generasi mendatang. Contoh paling mudah dilihat adalah kebijakan untuk membangun ibukota di hutan Kalimantan.

Foto: Maria al-Zahra
“Proyek-proyek strategis nasional lainnya seperti pembangunan IKN (Ibu Kota Negara), Food Estate, MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) dan lain sebagainya menggunakan wilayah masyarakat adat yang itu menyimpan kekayaan untuk medium menyerap karbon dan mendukung turunnya emisi gas kaca,” katanya.
Dilansir dari Katadata.id memperlihatkan bahwa dalam kurun waktu 2018-2022 seluas 1,33 juta hektar hutan telah hilang. Padahal di setiap tanah hutan yang dibabat untuk pembangunan hotel, supermarket, villa, restoran atau gedung perkantoran, menyimpan ruang hidup bagi banyak makhluk hidup.
Salah satu dampak dari deforestasi hutan adalah berkurangnya sumber air bagi makhluk hidup. Data dari Bappenas (2022) memaparkan beberapa wilayah seperti Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan akan mengalami krisis air bersih pada 2045. Pun sebenarnya hari ini sudah banyak masyarakat yang mengalami krisis air bersih, seperti kaum miskin kota di Jakarta, masyarakat Gunung Kidul dan Wadas yang semuanya disebabkan oleh pembangunan dan pertambambangan.
Kemudian yang terjadi adalah privatisasi air bersih. Padahal air bersih juga merupakan hak bagi setiap warga Indonesia. Sana memaparkan krisis air bersih menjadi persoalan karena tidak adanya regulasi yang jelas dan tidak berpihak pada semua kalangan. Hal yang terjadi selanjutnya kemiskinan yang terus menimpa masyarakat.
“Di musim kemarau yang panjang, sumber air semakin sedikit dan susah akses. Kemudian masyarakat akan mengeluarkan uang dari kas rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan itu. Dan pasti perempuan yang diharuskan mencari ketersediaan air,” jelasnya.
Beban ganda, lanjut Sana, kembali dipikul oleh perempuan. Untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga seperti minum, makan, mandi, menyiram tanaman sampai berkebun membutuhkan air dan pasti para lelaki luput untuk memikirkan hal itu. Hal ini dikarenakan masih banyak rumah tangga yang menganut sistem patriarki dengan melimpahkan pekerjaan rumah kepada perempuan.
Maka, dalam aksi Lingkungan Hidup menuntut untuk mencabut semua regulasi dan proyek pembangunan yang eksploitatif dan memperparah krisis iklim. Menurut Sana, seharusnya perempuan juga dilibatkan dalam pembentukan regulasi. Karena sejatinya alam adalah untuk semua kalangan, tak terkecuali perempuan.
“Untuk mempertahankan bumi ini perlu adanya regulasi yang meregenerasi bumi ini dengan gender perspektif dan adil untuk semua entitas. Secara konstruksi sosial perempuan sudah menjadi pihak paling bawah, maka jangan sampai perempuan juga ditindas dan alam ikutan tertindas,” pungkasnya.
No Comments