12 Sep Pengetahuan Lokal Perempuan Menjadi Pondasi Kebijakan Iklim yang Inklusif
“Pengetahuan lokal perempuan adalah pondasi kebijakan iklim yang inklusif,” ujar perempuan asal Kupang, Linda Tagie dari Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JEPIT).
Pusat Kajian Literasi Universitas Negeri Semarang (UNNES) gelar Simposium Publik bertajuk “Adaptasi Jejaring iklim yang inklusif: Peran Jejaring Advokasi Iklim Perempuan”. Bertempat di Hotel Aruss, Semarang pada Kamis/09. Pengetahuan perempuan lokal memiliki peran penting dalam menghadapi dampak krisis iklim. Mereka memiliki daya tahan dan resiliensi sesuai dengan kultur sosial-budaya dan kearifan lokal di wilayah masing-masing.
Linda Tagie, Panelis dari JEPIT menceritakan penelitian yang ia lakukan bersama 25 jaringan di Nusa Tenggara Timur (NTT) terhadap perempuan petani. Prinsipnya menempatkan perempuan akar rumput sebagai sumber pengetahuan kemudian dikaji sebagai sumber pengetahuan baru untuk advokasi kebijakan iklim kedepannya. Salah satunya perempuan petani sorgum yaitu Mama Maria Loreta yang kembali memperkenalkan tanaman sorgum sebagai tanaman adaptif iklim.
“Mama Maria Loreta mengatakan Sorgum itu selain kuat juga tahan terhadap hama penyakit. Sangat adaptif dan cocok dibudidayakan di daerah kering, seperti NTT,” ujar Linda.
Selain petani, Ia juga berfokus pada perempuan penenun, peternak, dan nelayan. Pada dasarnya perempuan di NTT sudah memiliki kultur resiliensi terhadap situasi seperti kekeringan, tapi karena adanya krisis iklim membuat perempuan harus mencari teknik adaptasi resiliensi baru.
“Walau mereka terbiasa dengan kekeringan, tapi jika kekeringan berkepanjangan akan menggeser musim tanam yang berimplikasi pada gagal panen. Dan lagi-lagi yang menanggung perempuan,” tambah Linda.
Sana Ulali, Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan Kinasih juga memaparkan hasil riset terhadap kelompok petani Karisma Kulon Progo yang tetap mempertahankan pola pertanian lestari. Pertanian yang mengikuti kondisi alam sekitar, kontur tanah, mengintegrasikan dengan aspek spiritualitas lokalitas, serta menempatkan hama sebagai makhluk hidup sahabat tani bukan musuh apalagi harus dimusnahkan dengan obat kimia pestisida yang turut berdampak pada kerusakan ekosistem. Dengan melakukan upaya pertanian lestari tersebut, para perempuan Karisma jadi memiliki adaptasi berketahanan yang kuat terhadap situasi pembangunan yang semakin masif.
“Sistem kapital tidak hanya memiskinkan tapi juga membuat bumi kita semakin sedih, ibu bumi makin lara. Krisis iklim semakin tidak terkendalikan akibat over pestisida,” ujar Sana.
Sistem yang dibangun oleh Perempuan Karisma menggunakan pendekatan berbasis keluarga dengan komunikasi yang sederhana, melibatkan laki-laki/suami, anak-anak, bahkan tetangga. Kemudian dengan strategi Angkringan dapat menambah solidaritas kelompok dan berpotensi turut mendobrak ketergantungan pada kapital. Bukan tentang kuantitas atau berapa banyak yang dijual, namun seberapa tahan mengkomunikasikan praktik kecil tersebut di pedesaan.
“Pertemuan Karisma tidak hanya dihadiri oleh kelompok perempuan saja tapi juga bapak-bapak dan anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan. Ini menunjukkan entitas satu kelompok yang sangat terbuka memandang kesetaraan gender,” ujar Sana.
Andi Misbahul Pratiwi, selaku pembahas dari University of Leeds, memaparkan bahwa dampak krisis iklim yang dialami perempuan tentu berbeda-beda. Tidak bisa menyamakan semua perempuan, perempuan yang berada di kelas mana dulu. Perempuan di sektor pertanian pedesaan memiliki dampak yang berbeda pada perempuan di perkotaan.
“Contoh, warga Pesisir Timbulsloko Demak yang melawan rob dengan menanam dan memakai pembalut kain pakai ulang untuk mengurangi sampah,” ujar Andi.
Rachman Kurniawan selaku pembahas dari Bappenas menuturkan bahwa penanganan krisis iklim dan isu gender ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Data lapangan yang telah dipaparkan pada dasarnya akan mendorong capaian Sustainable Development Goals (SDGs) Indonesia pada 2030. Menimbang juga isu gender yang memiliki cukup banyak target dan data yang masih banyak belum tersedia juga.
“Jadi upaya-upaya baik ini bisa di skill up atau direplikasi sehingga bisa memberikan arah kebijakan yang lebih baik,” tutur Rachman.
Linda Tagie berharap dari hasil penelitian ini bisa menjadi bahan pertimbangan pemerintah dalam menentukan kebijakan. Bahwa perempuan tidak dapat dipinggirkan terutama pengetahuan lokal karena perumusan kebijakan iklim inklusif butuh pendekatan yang multidisiplin dan holistik. Perspektif feminis sebagai pisau analisis, inklusifitas, dan pengelolaan kolaboratif sehingga kebijakan dapat mengakomodasi semua lapisan.
“Mulai dari kelompok rentan, disabilitas, perempuan, dan anak-anak,” lanjut Linda.
Zulfa Zakiya selaku ketua penelitian dari UNNES menuturkan kelompok iklim perempuan telah mendemonstrasikan upaya hidup sehari-hari untuk merespon krisis iklim. Inisiati-inisiatif lokal yang dipraktikan oleh perempuan akar rumput menunjukkan kemampuan adaptasi yang relevan dengan konteks sosial-budaya di Indonesia.
“Kami sebagai peneliti justru belajar banyak dari gerakan perempuan akar rumput untuk terus mengupayakan keadilan gender dan juga keadilan iklim,” ujar Zulfa.
Acara ini merupakan puncak dari serangkaian riset kolaboratif yang didanai oleh pemerintah Australia melalui program Knowledge Patnership Platfrom Australia (KONEKSI). Proyek yang diketuai oleh Universitas Negeri Semarang (UNNES) berkolaborasi dengan Universitas Gajah Mada, Australian National University, University of Western Australia, University of Leeds. Mosintuwu Institute, Sri Institute, Solidaritas Perempuan Kinasih, dan Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JEPIT). Diskusi kali ini juga menyoroti pentingnya penelitian dengan pendekatan FPAR (Feminist Participatory Action Research) yang melibatkan perempuan di komunitas tampak dan rentan.
Reporter : Nanik Rahmawati
No Comments