Berawal dari Rasan-Rasan, Rakjat Kopi Purworejo Berhasil Mengolah Biji Kakao Menjadi Cokelat

Berawal dari Rasan-Rasan, Rakjat Kopi Purworejo Berhasil Mengolah Biji Kakao Menjadi Cokelat

Kunci dari membuat cokelat adalah fermentasi

Festival Perempuan Istimewa di hari kedua menyelenggarakan kelas sinau enam dengan materi Praktik Pengolahan Cokelat pada Minggu, 15/09. Bertempat di Balai Klegung, Kalibawang, Kulonprogo. Berawal dari keresahan anak muda Rakjat Kopi Purworejo mereka berhasil membuat cokelat dengan kandungan 70 persen kakao.

Eka Permata menceritakan bahwa ide pembuatan cokelat kakao ini berawal dari keresahan teman-teman Rakjat Kopi Purworejo tentang cokelat. Mereka sering membuat wedang cokelat tapi cokelatnya membeli dari toko. Sedangkan di sekitar lingkungan banyak buah kakao. Dari situ, kemudian mencoba bereksperimen membuat cokelat dari biji kakao mulai yang belum difermentasi dan mencari tutorial pada media sosial.

“Teman-teman Rakjat Kopi sering gendu roso atau rasan-rasan  gini, ini ada cokelat dan kita bikin wedang cokelat tapi kok cokelatte tuku ning toko nggak bikin sendiri,” ujar Eka.

Proses pembuatan cokelat dari buah kakao memiliki beberapa rangkaian, Pertama tahap fermentasi. Pilih biji kakao yang sudah matang dan sehat, masukkan ke dalam wadah berlubang yang sudah di alasi daun pisang dan tutup rapat. Sehari sekali biji kakao diaduk atau dibalik sambil melakukan tes per biji apabila ada yang rusak. Proses fermentasi akan berjalan selama 5-7 hari. Setelah itu biji kakao dicuci dan dijemur.

“Fermentasi dilakukan supaya mengeluarkan aroma dan cita rasa cokelat. Kemudian menghilangkan rasa pahit dan sepat dari biji,”imbuhnya.

Yohana, Kelompok Petani Karisma menuturkan sebagai petani yang pernah menanam kakao ia menilai proses pembuatan cokelat ini cukup rumit, apalagi harus fermentasi selama 7 hari. Biasanya dulu ketika panen kakao hanya dijemur kemudian dicuci dan langsung dijual

.

“Tadi saya pengen bisa buat cokelat tapi kok prosesnya susah gitu,” ujar Yolanda.

Fermentasi ini sangat menentukan kualitas dan cita rasa cokelat. Jika tidak dibalik dan tes biji maka akan berpotensi gagal. Kemudian penataan daun pisang yang kurang rapat juga bisa berpengaruh karena panasnya tidak merata..

Tahap kedua ada roasting atau penyangraian biji kakao agar pengupasan kulit ari atau nibs biji kakao lebih mudah. Kemudian ada pengempaan atau pengeluaran dan pemisahan lemak kakao dengan menggunakan alat. Tahap ketiga penghalusan dan pencampuran bahan mulai dari kakao yang sudah dihaluskan, lemak kakao dan gula selama 48 jam atau sekitar 2 hari. Dalam proses ini alat yang digunakan masih kolektif dengan penjual yang lain.

 Tahap ke empat ialah tampering atau penyesuaikan suhu cokelat hal ini supaya cokelat terlihat mengkilap. Setelah diaduk selama 48 jam maka suhunya perlu diturunkan 28 derajat. Selanjutnya cokelat bisa di cetak kemudian dimasukkan dalam mesin pendingin dan cokelat siap dikonsumsi. Biji kakao yang menjadi bahan utama sebanyak 70 persen dalam kandungan cokelat.

“ Per batang cokelat seharga 20.000 rupiah. Sebenarnya pembuatan cokelat lebih mudah dari pada kopi cuman cokelat itu manja,” ujar Eka.

Eka Permata memaparkan bahwa usaha  yang ia rintis sejak 2021 saat ini mengalami kendala ketersediaan bahan baku akibat krisis iklim. Buah kakao yang ia tanam secara mandiri tidak mencukupi kebutuhan pembuatan cokelat. Sehingga mengharuskannya untuk membeli kepada petani–petani lain dengan memetiknya secara langsung.

“Sembari nunggu punya sendiri kita beli dari tetangga, penanamannya sendiri bisa 4-7 tahun,” ujar Eka.

Pada 2007 di Purworejo terdapat pembagian bibit kakao tapi tidak diberi tahu bagaimana pengolahannya dan penjualannya. Jadi  dulu masih banyak pohon kakao dan ngertinya itu malah pohon hama. Berbanding balik dengan sekarang. Krisis iklim mengakibatkan bahan baku seperti kakao susah dicari dan membuat harganya semakin mahal.

“Sekarang krisis iklim bahan baku kurang ,harga semakin mahal,”tambahnya.

Yohana, Kelompok Petani Karisma memparkan pengalamanya ketika menanam kakao. Dulu pernah ditawarin bibit dari PT lengkap dengan modal dan cara pengolahannya. Tapi karena harga jualnya sama dengan yang langsung panen. sedangkan cara pengolahannya ribet jadi harga yang diberikan tidak sesuai dengan tenaga yang dikeluarkan. Karena harga kakao semakin turun jadi pohonnya tidak terurus.

“Daunnya pada bolong-bolong diserang hama. Tapi sekarang sudah ada bibitnya lagi, besok musim hujan mau tanam lagi,”ujar Yolanda.

Eka memberikan kesempatan kepada para peserta yang mau belajar pembuatan cokelat. Ia siap membantu pengolahannya terutama dalam hal alat. Yang penting sudah memiliki bahan baku yaitu buah kakao.

“Bisa kontak saya ,jika butuh pengarahan,” ujar Eka.

Zahra, peserta dari mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan (UAD) menuturkan ketidaktahuan warga tentang pengolahan cokelat terjadi karena kurangnya sosialisasi dari pemerintah. Tidak hanya di kasih bibit tapi juga diberikan edukasi tentang pengolahannya dan penjualanya. Sebagai upaya mendukung perekonomian masyarakat.

“Kayak misal kakao bisa dijual lebih mahal lagi karena diolah,”ujar Zahra.

Festival ini telah membuka mata anak mudah untuk kembali mengenal pangan lokal. Kita punya makanan lokal daerah yang perlu dilestarikan. Meskipun sudah mengenal caféRe,restoran atau tempat modern jangan sampai melupakan tradisi sendiri.

“Saya akui acara ini bagus,selain melestarikan tradisi juga menjadi edukasi misal saya kan orang padang tadi makanan ternyata dari jagung,” imbuhnya.

Reporter: Nanik Rahmawati

No Comments

Post A Comment

Mulai Percakapan
Layanan Support
Selamat datang di website Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta!
Apa yang bisa kami bantu?