Menanyakan Kembali Generasi Muda untuk Menjadi Petani

Menanyakan Kembali Generasi Muda untuk Menjadi Petani

“Banyak bapak omong ke anaknya gini, ‘jangan jadi petani, nanti kayak aku rekoso’,” Ujar Deni, perwakilan dari Petani Muda kepada para peserta Festival Perempuan Istimewa 2024 pada Minggu (15/09).

Di hari kedua SP Kinasih mengadakan kelas Regenerasi Petani di Tengah Krisis Iklim. Para peserta yang hadir mayoritas adalah anak muda, karang taruna desa, anak petani dan mahasiswa perantauan, mereka mengiyakan dengan pernyataan pembuka Deni. 

Deni menjelaskan pernyataan itu tidak hadir dari ruang kosong, melainkan ia dipengaruhi oleh banyak hal salah satunya pendidikan. “Pendidikan di Indonesia tidak mendukung untuk menjadi petani,” paparnya. 

Baginya pendidikan di Indonesia justru menjauhkan anak muda dari diri mereka sendiri. Paradigma bahwa masyarakat kota selalu terlihat lebih maju, dan orang kantoran selalu lebih sejahtera tertanam begitu kuat. Akibatnya banyak anak muda di desa yang tidak menyadari kekayaan alam dan kearifan pengetahuan yang selama ini ada di sekitar mereka. 

Petani di Indonesia hari ini justru menduduki posisi paling bawah dalam hierarki sosial. Profesi sebagai petani dilihat dari penampilan mereka yang kuno, tidak kekinian, resiko gagal panen yang tinggi dan orang desa yang terbelakang–hanya bisa mencangkul. Pemahaman seperti itulah yang ditanamkan pemerintah dan dilestarikan di setiap institusi pendidikan. Padahal institusi pendidikan itu yang justru mencabut pengetahuan dari setiap anak dari lingkungan tempat dia tinggal.

Menurut Deni, bukan petani yang bersalah, melainkan kebijakan pemerintah yang tidak pernah mendukung pemberdayaan petani. Pertama dari kebijakan yang tidak berpihak yaitu penguasaan lahan. Lahan-lahan hijau tergantikan dengan perkantoran, jalan tol, perhotelan dan pertokoan, dengan dalih Pembangunan Strategis Nasional (PSN) atau untuk peningkatan ekonomi masyarakat. 

“Lahan itu padahal sebagai modal pertama dan bahan awal untuk mulai bertani. Tanpa lahan, petani tidak akan bertani,” kata Deni. 

Deni mencontohkan bagi petani gurem yang hanya memiliki sedikit lahan, tak lebih dari 1 hektar sawah biasanya pendapatan mereka hanya 4 juta. Pendapatan itu pun didapat setelah masa panen yang bisa berjarak pertiga bulan atau lebih. Dari pendapatan itu harus bisa untuk membeli pupuk, pembasmian hama, irigasi, dan perolehan bibit yang bagus untuk masa panen berikutnya. Sedangkan para petani itu juga memiliki tanggung jawab membayar sekolah anak mereka. 

“Sopan nggak Jokowi nyuruh anak muda jadi petani? tanpa ngasih modal. Dia ini buta atau nggak mau liat yang sebenarnya terjadi petani itu kesusahan,” kata Deni.

Kebijakan yang kedua adalah tempat penjualan hasil tani yang tidak efektif. Deni memaparkan bahwa selama ini petani menggantungkan penjualan ke tengkulak. Walhasil harga hasil panen pun sering dipermainkan oleh para tengkulak. 

“Posisi petani menjadi rendah, karena manut aja. Kalau pemerintah mau serius ya harusnya bisa memotong jalur tengkulak,” ujar Deni. Ia berharap pemerintah menyediakan semacam pasar atau jalur khusus penjualan hasil panen yang menguntungkan bagi petani. Karena selama ini petani memang kesulitan untuk menjual hasil panennya. 

Deni mencontohkan di daerahnya sendiri sudah mulai dibentuk kelompok-kelompok kecil para muda-mudi desa untuk mengelola lahan-lahan pertanian. Kelompok ini kemudian menjadi mirip dengan koperasi, di mana tugas-tugasnya bukan hanya macul saja. Melainkan dari banyak orang kemudian ada pembagian kerja. 


“Di kelompok itu nanti bagi tugas. Ada yang nanem, ada yang jualan, ada yang ngolah jadi bahan lain, ada yang ngarit dan macemnya. Generasi muda itu makanya jangan hanya melihat dari bertani itu mesti macul,” tutur Deni.

Dalam kelas diskusi tersebut Ketua Karang Taruna Kalibawang, Yogi, meresahkan hal yang serupa. Ia melihat kondisi sosial para petani yang kesusahan karena harga pupuk mahal, iklim yang tidak menentu, dan juga harga tani yang turun. 

Pertanyaan pun muncul dari Yogi, “Semua yang terjadi itu salah siapa?” 

Tampuk kebijakan dan penguasa tertinggi di Indonesia adalah presiden. Maka, dalam hal pertanian, Jokowi memiliki tanggung jawab besar untuk mengembalikan kesejahteraan petani. Deni selaku pemateri pun merasa kecewa dengan sikap pemerintah, terutama Jokowi dengan ambisi PSN-nya yang menghabiskan banyak lahan. 

Deni juga menyoroti bantuan pupuk yang diberikan pemerintah. Pupuk yang diberikan itu hampir semuanya adalah kimia, Padahal pupuk kimia dapat mengganggu ekosistem tanah dan merusak alam. Dalam hal ini komitmen pemerintah untuk merawat alam hanya sebatas janji manis. 

“Kalau mengandalkan pemerintah itu cape! Pertanian udah jadi lingkaran setan,” tegas Deni.

Dalam diskusi tersebut Deni menyarankan pada Yogi untuk mengatasi pupuk mahal dapat menggunakan pupuk organik. Caranya yaitu dengan mencontoh kerja-kerja alam, seperti memakai daun yang kering, kotoran hewan dan lainnya. Pupuk organik bisa bikin sendiri, tanpa modal dan baik untuk alam.

“Jangan ketergantungan kimia. Di sekitar rumah kita sebenarnya bisa untuk membuat pupuk organik sendiri,” pungkas Deni. 


Reporter: Maria Al-Zahra

No Comments

Post A Comment

Mulai Percakapan
Layanan Support
Selamat datang di website Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta!
Apa yang bisa kami bantu?