25 Sep Perempuan dan Anak menjadi Kelompok Paling Terdampak Krisis Iklim
Hari ketiga Festival Perempuan Istimewa menghadirkan kisah-kisah dampak perubahan iklim pada perempuan Indonesia. Acara ini bertempat di Balai Klegung, Kalibawang, Kulonprogo. Pada Selasa (16/09), menghadirkan aktivis, jurnalis dan perempuan akar tumput untuk membagikan pengalamannya tepatnya.

Kemiskinan struktural yang terjadi tidak semata-mata hanya karena malas, tetapi pendapatan dan kondisi lingkungan juga sangat berpengaruh. Mereka yang tinggal di daerah dengan potensi bahan mineral, batu bara dan nikel melimpah justru angka kemiskinannya cenderung tinggi. Seharusnya potensi kekayaan alam itu dimanfaaatkan secara adil. Tapi sayangnya, kehadiran tambang telah merusak alam. Pada akhirnya perempuan dan anak yang paling merasakan dampaknya.
Novi dari Trend Asia memaparkan berbagai pola kebijakan yang dihasilkan pemerintah dalam menangani krisis iklim telah menciptakan kemiskinan struktural. Kemiskinan yang diakibatkan karena sistem struktur. Tidak hanya pendapatan yang dihitung tapi juga lingkungannya. Kebanyakan daerah tambang tanahnya dan lautnya rusak. Mirisnya petani dan nelayan tidak dianggap sebagai sebuah profesi yang seharusnya dilindungi oleh negara.
“Ketika hadir industri tambang justru yang paling dirusak adalah petani dan nelayan. Apakah dua profesi ini dilindungi oleh pemerintah? Sayangnya tidak,” papar Novi.
Hilal, Jurnalis iklimku.co.or menuturkan bahwa mereka mengumpulkan kisah-kisah dampak perubahan iklim, di indonesia. Pada akhirnya yang paling terasa dampaknya ialah perempuan adan anak. Karena secara tradisi perempuan menjadi pengelola rumah tangga yang dituntut bisa mencukupi kebutuhan dengan penghasilan berapapun.
“Ketika penghasilan menurun mereka harus putar otak hingga akhirnya pilihannya mencari pekerjaan lain dengan migrasi,” tutur Hilal.
Novi memaparkan dampak krisis iklim akibat kemiskinan struktural yang dialami perempuan. Di daerah Cirebon banyak para nelayan penghasil rebon dan terasi yang mengorbankan anak perempuannya untuk dipersunting oleh juragan atau anak juragan.
“Balik tadi kemiskinan struktural. Para petani dan nelayan menghadapi masalah sendiri mulai dari lahan yang kecil, dan harga beli yang sangat rendah. Tengkulak-tengkulak ini harus dibasmi tapi sayang negara nggak berani untuk itu,”ujar Novi.
Peran ganda perempuan dalam keluarga tidak bisa dipungkiri. Di satu sisi sebagai pengatur keuangan keluarga, tapi di sisi lain menjadi korban dari struktur kebijakan pemerintah yang tidak meletakkan perempuan dalam perlindungan komprehensif. Di daerah Morowali, Sulawesi Tengah angka prostitusi usia belia tinggi. Banyak anak sekolah SMP dan SMA terpaksa berhenti sekolah tidak dapat melanjutkan ke jenjang tingkat perguruan tinggi karena kesulitan perekonomian.
Lahan milik bapak atau ibunya sudah tidak produktif lagi. Akhirnya memaksa para anak perempuan untuk membantu mereka. Karena mereka tidak memiliki skill yang mumpuni seperti anak perkotaan membuat mereka mencari jalan pintas mencari sumber dana dan yang mereka miliki hanya tubuh.
“Kemiskinan struktural menciptakan efek-efek domino bahkan masalah prostitusi, karena apa yang dijanjikan pemerintah tidak terjadi dan hampir terjadi disetiap kawasan tambang mineral,” imbuh Novi.
Ela, Jaringan Masyarakat Peduli Iklim (Jampiklim) memaparkan sebagai seorang ibu ia merasa ada naluri kepedulian ketika terjadi krisis iklim. Melihat masa depan anak yang berhak untuk mendapatkan kualitas hidup baik dan layak. Maka ia harus beranjak dari kemapanan dan kepraktisan. Mengurangi emisi jejak karbon dan mengurangi ketergantungan produk industri yang eksploitatif dan merusak lingkungan.
“Saya mikir bagaimana masa depan anak saya. Bagaimana mau sukses kalau lingkungan tidak mendukung. Saya berfikir untuk beraksi harus beranjak dari kecanduan kemapanan,”ujar Ela.

Banyak media yang menarasikan bahwa barang alami dijadikan sebagai alternatif. Ia tidak menyetujui pendapat ini. Seharusnya bahan alami menjadi utama dan sintetis alternatif. Misalkan dalam kebersihan rumah tangga ia menggunakan bahan-bahan alami seperti lerak, ontel, Eco Enzyme.
Kristin, anggota Kelompok Tani Karisma menuturkan di era sekarang lerak susah dicari. Padahal lerak bagus digunakan untuk mencuci kain dan membuat warna kain tidak mudah pudar.
“Lerak ini bagus dan tahan lama,” tutur Kristin
Misidah, Ketua Kelompok Tani Karisma menuturkan dalam keseharian memasak ia selalu mengusahakan menggunakan tungku dari pada kompor gas. Selain harus mengeluarkan biaya, penggunan kompor gas hanya menambah udara semakin panas. Terkadang gas LPJ tidak selalu ada dan cepat habis. Dalam cita rasa juga berbeda, lebih gurih menggunakan menggunakan tungku.
“Sayang banyak kayu. Daripada beli gas uangnya bisa digunakan yang lain,”ujar Misidah.
Reporter: Nanik Rahmawati
No Comments