27 Sep Rerasan Kebijakan Pemerintah: Bukan Sekedar Rerasan Kerumunan
Rerasan dalam bahasa jawa ruang untuk saling bertukar cerita. Festival Perempuan Istimewa mengadakan Rerasan pada hari terakhir. Sebuah forum spesial bagi ibu-ibu petani, berbagai kelompok masyarakat, para penggiat iklim, individu yang gelisah akan alam dan sekitarnya. Mereka bebas bersuara, berpendapat, dan menilai kinerja dan menanyakan kebijakan pemerintah.
Martina Astuti, salah satu Petani Karisma, mengawali rerasannya dengan cerita masa lalunya yang akrab dengan sawah. “Jadi petani itu sejak umur 10 tahun, selalu bantu ayah dan ibu,” paparnya. Ia mengenang sawah, alam, para petani yang makmur dan sejahtera dengan kelokalan mereka.
Namun, sayangnya hari ini tatkala Tutik, sapaan akrab Martina Astuti menjadi petani, ia tidak merasakan kemakmuran sebagaimana orang tuanya dahulu. Ia mengeluhkan soal harga pupuk yang tinggi, lahan-lahan pertanian yang semakin sedikit, tidak ada edukasi untuk petani dari pemerintah dan pemaksaan penanaman bibit unggul.
“Dulu pernah dikasih bibit dan bunga-bunga gitu. Cuman ya sekali itu, setelah itu tidak ada follow up lagi,” sesal Tutik. Ia mengeluhkan ketidakseriusan pemerintah dalam mensosialisasikan programnya.
Pendekatan pada petani di desa pun jarang dilakukan. Pendekatan yang seharusnya dilakukan di sawah atau di ladang, tujuannya agar pihak dari pemerintah dapat melihat langsung kesulitan para petani. “Jarang ketemu sama ibu-ibu PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan), padahal kebalikannya lapangan petani itu ya di sawah,” ujarnya.
Tak heran, jikalau Tutik kemudian menanyakan komitmen pemerintah dalam hal pertanian.
“Untuk pemerintah entah nasional, daerah atau kabupaten, pertanian kita ini mau dibawa kemana? apakah pokoke mlaku saja atau gimana?” katanya. “Saya itu prihatin soal regenerasi petani. Petani muda itu gimana kabarnya? Siapa yang mau melanjutkan sawah kita?” lanjut Tutik.
Keresahan Tutik bukan datang dari ruang hampa, sikap pemerintah selama ini memang tidak pernah serius menggarap pertanian dan kedaulatan petani. Herny, ketua Petani Karisma juga merasakan keresahan yang sama.
Herny menyayangkan minimnya dukungan pemerintah pada para petani lokal. Cara bertani mereka adalah dengan bertani lestari, sayangnya terkendala dalam hal pemasaran.
“Kami kesulitan dalam memasarkan hasil tani karena ada yang namanya sertifikat organik. Padahal sebenarnya hasil kami itu kan dari lokal semua dan sehat-sehat, tapi terhalang sama sertifikat. Entah dari prosedurnya dan biayanya,” papar Herny.
Herny dan Tutik berharap besar di Rerasan ini perwakilan pemerintah yang hadir dapat memberikan komitmennya untuk mendukung pertanian lestari. Beberapa perwakilan pemerintah yang hadir adalah Dinas Pertanian Kulonprogo, Dinas Pertanian DIY dan perwakilan kelurahan.
“Kami lima hari di sini bisa diberikan edukasi yang banyak dan beragam. Hasilnya juga bisa sangat bermanfaat bagi kami petani perempuan. Seperti pengelolaan sampah, pengolahan pangan, pembuatan Eco Enzyme,” ujar Herny. Ia berharap dari pemerintah tersedia anggaran untuk diadakan edukasi sejenis ini untuk petani-petani lokal.
Sana Ullaili, Ketua Badan Eksekutif Komunitas SP Kinasih menjelaskan urgensi dari Rerasan yaitu adanya ruang dialog antara pemerintah dan masyarakat. “Rerasan ini untuk ruang mengobrol dan mengakui para perempuan petani lestari, para perempuan pejuang benih dan para perempuan perawat alam,” jelasnya.
Sana melihat hari ini pengakuan terhadap perempuan tidak pernah dilakukan. Perempuan hanya diperas tenaganya untuk bekerja dan menghasilkan hasil tani, tanpa apresiasi bahkan dukungan.
“Apalagi sekarang ini kita sudah memasuki krisis iklim. Krisis iklim itu sangat berdampak ke perempuan. Karena perempuan yang mengumpulkan benih, perempuan yang menentukan menu makan untuk keluarganya dan jangka panjang bisa jadi perempuan ini jadi korban KDRT karena benih yang tidak bagus, tidak bisa nanem, dan hasil makanan yang tidak sehat,” pungkas Sana.
Reporter: Maria Al-Zahra
No Comments