Kisah Tiga Feminis: Hidup dan Berdinamika di tengah Gelora Sistem Penindasan

Kisah Tiga Feminis: Hidup dan Berdinamika di tengah Gelora Sistem Penindasan

RINGKASAN SKRIPSI

by: Dwi

Skripsi ini membahas mengenai interseksionalitas yaitu titik temu/persimpangan yang dialami tiga orang perempuan feminis terhadap penindasan, dominasi dan diskrimnasi. Perempuan menjadi salah satu kelompok yang mendapat perhatian khusus karena termasuk ke dalam kelompok rentan; karena banyaknya diskriminasi yang dialami oleh perempuan dan kerap disingkirkan dalam proses pembangunan. Diskriminasi gender terjadi karena praktik dari sistem yang patriarki masih berlangsung hingga saat ini. Kendati sudah muncul berbagai gerakan feminis dan aktivis perempuan yang gencar menyuarakan serta menegakkan hak perempuan, nyatanya praktik patriarki tetap langgeng terlihat pada aktivitas domestik, ekonomi, politik, dan budaya (Sakina and A., 2017).

Berangkat dari keresahan atas keadaan tersebut penelitian ini hendak menunjukkan bahwa pada golongan apapun dalam sistem yang patriarki perempuan mengalami ketertindasan. Untuk itu, penelitian ini akan mencari tahu lebih dalam tentang interseksionalitas yaitu titik temu/persimpangan penindasan, dominasi, atau diskriminasi yang dialami perempuan. Dengan melihat pada kisah tiga orang perempuan feminis yang terlibat dalam pergerakan memperjuangkan keadilan gender yang tergabung dalam salah satu organisasi feminis yang sama bernama Solidaritas Perempuan Kinasih. Secara spesifik mengangkat tentang apa yang membuat ketiga feminis memperjuangkan hak-hak perempuan, mengapa mereka mempertahankan ideologi feminisme untuk menegakkan kesetaraan gender, hingga bagaimana kisah dan pengalaman mereka selama hidup dan berdinamika di tengah peliknya penindasan yang diciptakan sistem patriarki tersebut.

Namun dalam penelitian ini tidak sedang fokus menyoroti pada bagaimana ketertindasan itu melemahkan perempuan. Justru sebaliknya akan menunjukkan sisi yang jarang dilihat yakni kisah perempuan yang berjuang, hidup dan berdinamika di tengah berbagai macam bentuk penindasan dalam sistem masyarakat yang sangat patriarkis tersebut. Sebab peneliti sendiri menilai ada banyak hal yang masih jarang dibahas isu gender dan pembangunan salah satunya tentang bagaimana perjuangan para perempuan feminis itu sendiri, sementara disitulah yang penting untuk dicari tahu. Agar kemudian wacana feminis memberikan udara segar dan juga semangat baik yang juga harus terus dikembangkan di masyarakat. Peneliti mengira hal-hal tersebut kemudian akan turut membantu dalam membuat suatu catatan tulisan yang komprehensif agar siapa pun yang membaca dapat mengetahui dan memahami betul sejauh mana peran perempuan dalam menyelesaikan masalah ketidakadilan di masyarakat. Agar kemudian ideologi feminis tidak lagi sulit diterima melainkan bisa dipandang sebagai suatu yang harusnya sama-sama diperjuangkan.

Seperti sudah disinggung sebelumnya, informan dalam penelitian ini adalah perempuan feminis berjumlah tiga orang. Ketiganya adalah anggota aktif dalam sebuah organisasi feminis yang sama bernama Solidaritas Perempuan Kinasih. Mereka dipilih berdasarkan keberagaman mereka mulai dari usia, agama, suku, dan juga pendidikan.  Namun ketiganya memiliki peran penting dalam organisasi SP Kinasih. Banyaknya aspek- aspek kehidupan yang akan diteliti pada masing-masing informan tersebut menjadi dasar pertimbangan sedikitnya jumlah informan yang diteliti. Hal tersebut agar peneliti bisa secara fokus meneliti kekhasan dari masing-masing kisah dan pengalaman informan. Adapun Solidaritas Perempuan Kinasih menjadi salah satu arena yang sama yang dimiliki oleh ketiga feminis maka kemudian organisasi ini perlu disinggung sedikit secara lebih khusus dibandingkan organisasi lainnya.

Perempuan feminis pertama yang dibahas dalam penelitian iniyaitu  ibu Nunuk Murniati (77 tahun). Perjalanan panjang lebih dari 50 tahun membuat kata utuh dan asli pantas disematkan pada diri aktivis feminis senior Nunuk Murniati. Banyak karya telah ditorehkan, orang melihat gemilangnya karya tersebut tanpa tahu cerita penuh peluh bahkan darah di baliknya. Bermula dari sepasang bola mata kecilnya yang menyaksikan tetangga mengalami KDRT ketika dirinya masih belia, suara hati Nunuk tidak bisa berbohong untuk bergerak memperjuangkan kesetaraan dan hak bagi perempuan.

Hingga dirinya sampailah pada sebuah jalan yang memberikan hentakan pada diri tanggung Nunuk, yakni ketika dirinya harus belajar tentang akar penindasan perempuan melalui teologi agama. Sebagai catatan Nunuk adalah seorang perempuan Katolik yang betul-betul taat dalam beragama sejak kecil. Akan tetapi perjalanan itu dilalui Nunuk dengan sebaik-baiknya, dia berhasil bernegosiasi di tengah pertentangan lingkungan agamanya, bahkan dirinya menjadi seorang akademisi dan mengajar tentang teologi dan kaitannya dengan gender. Nunuk berhasil hidup dan berdinamika menguntai cerita dalam feminisme di Indonesia.

Selanjutnya feminis yang kedua, adalah Judith Lim memiliki latar belakang sebagai perempuan beretnis Tionghoa, menempatkannya sebagai citizen kelas paling bawah; membuat dirinya mengalami banyak diskriminasi sejak kecil. Alih-alih tenggelam dalam kesedihan, Judith justru menghayati setiap proses hidupnya tersebut. Banyak perubahan yang terjadi dalam dirinya, baik secara pandangan dan sikap. Tentu hal tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan, Judith harus mengalami cemooh, perihnya termarginarkan, namun kembali belajar memperbaharui pengetahuan dan perspektifnya. Hingga kini Judith justru belajar untuk mengabdikan seluruh aspek dalam dirinya untuk mengeliminir diskriminasi. Seorang feminis yang hobinya blusukan ini berprinsip bahwa jangan sampai berbagai pengalaman buruk didiskriminasi membuat kita membalas dendam justru olahlah itu untuk memutuskan rantai penindasan ini. 

Feminis ketiga adalah Sana Ulaili, diusia yang saat ini masih cukup muda yakni 44 tahun pengalaman yang dimiliki Sana dalam bergerak dan aktivisme tidak bisa diragukan lagi. Perempuan muda, bertubuh mungil, dengan kesederhanaannya ini bergerak tidak hanya di pulau Jawa, melainkan kerap beberapa lama di pulau-pulau lain di Indonesia. Orang-orang yang mungkin sempat memiliki pengalaman berorganisasi atau bekerja dengan Sana mungkin melihat bahwa dirinya adalah perempuan yang penuh keberanian. Bagaimana tidak, diberbagai kesempatan Sana kerap mengadakan suatu hal yang “sulit” bisa diterima oleh masyarakat. Sedikit cerita Sana pernah merubah sistem dalam organisasinya yang semula hanya menempatkan suatu divisi hanya untuk perempuan menjadi boleh diisi oleh laki-laki. Kemudian disuatu pekerjaannya di pulau terpencil Sana pernah dengan berani mengajak bapak-bapak untuk turut melakukan pekerjaan rumah tangga padahal jelas di sana budaya masyarakat sangatlah patriarkal.

Namun tidak banyak yang tahu banyaknya suara ketakutan yang menghantui hari-harinya di masa kecil hingga beranjak dewasa. Ketakutan karena pelecehan seksual yang dialaminya. Sana menjadi feminis dengan proses yang panjang, tidak semudah itu hingga dia bisa bersuara dan berkata-kata. Oleh karenanya ia berproses menjadi feminis tanpa menghakimi mereka yang mungkin belum berani hingga detik ini.

Dengan menggunakan teori interseksionalitas, yakni melihat intersection dari berbagai dimensi kehidupan, maka ketiga kisah pengalaman perempuan feminis tersebut bisa disimpulkan dengan tiga poin kunci argumen, yang dijelaskan di bawah ini. Pertama menjadi seorang aktivis feminis tidak akan pernah lepas dari latar belakang dan pengalaman perempuan. Sebab kemudian itulah yang akan menjadi kacamata mereka dalam melihat suatu hal. Maka dapat disimpulkan pula bahwa kita tidak akan pernah bisa menggunakan kacamata tunggal dalam melihat setiap kasus yang dialami perempuan. Oleh karenanya jelas subordinasi dan tidak memberi ruang terhadap perempuan selamanya tidak akan membawa pada penyelesaian masalah. Sebab hanya dengan keterlibatan utama dari perempuanlah yang mampu menanggapi dan menyelesaikan kondisi ketertindasan dan ketidakadilan perempuan tersebut. Namun demikian semua itu hanya bisa diperoleh dengan perempuan yang berjuang sendiri merubah keadaan. Perubahan dalam konteks diskriminisi perempuan perlu diperjuangkan oleh tiap orang namun terkhusus melalui perjuangan perempuan sendiri.

Kedua, dengan menggunakaan teori intersekisonalitas apa yang tidak terlihat selama ini menjadi muncul yaitu tentang bagaimana tidak mudahnya proses negosiasi dan dinamika yang dialami oleh perempuan dalam masyarakat. Bahwasaannya pandangan yang amat patriarkis itu benar-benar nyata dalam seluruh aspek kehidupan. Baik dalam agama, budaya, pekerjaan, usia, kelas sosial perempuan selalu menghadapi tantangan. Melalui teori interseksionalitas kita mampu melihat setiap sistem penindasan tersebut. Membedahnya secara jelas melalui kisah perempuan sendiri. Jelas masih banyak sekali hal yang luput dalam tulisan ini, namun penulis berani mengatakan bahwa di sinilah kita mampu melihat cerita yang murni dan jujur dari perempuan.

Ketiga, dengan melihat secara komprehensif aspek kehidupan perempuan melalui interseksionalitasnya pada akhirnya kita bisa mengerti tentang apa yang mereka perjuangkan. Bahwasannya selama ini terlalu banyak pandangan negatif dan pesimis yang disematkan pada diri aktivis feminis. Padahal proses yang dilalui oleh mereka telah membuat hidup mereka penuh dinamika sehingga mampu bernegosiasi dan membangun pemahaman mereka terkhusus tentang masyarakat patriarkis. Para feminis tidak akan bertindak jika tidak ada yang melatar belakanginya dan yang dilakukan aktivis feminis pasti berlandaskan pada apa yang sedang diperjuangkannya. Kisah tentang perjuangan perempuan yang masih jarang dihargai bahkan mungkin dipandang sebelah mata. Walaupun begitu, dalam setiap masa nyatanya masih ada dan akan terus ada perempuan yang bergerak untuk mencapai kesetaraan gender dan penghapusan ketidakadilan terhadap perempuan.

No Comments

Post A Comment

Mulai Percakapan
Layanan Support
Selamat datang di website Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta!
Apa yang bisa kami bantu?